Judul Novel :
“Saman” dan “Larung”
Karya : Ayu Utami
Sumber :
Novel “Saman” dan “Larung”
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia 1998, 2001
CITRA
TOKOH WANITA DALAM NOVEL “SAMAN” DAN “LARUNG”
KARYA
AYU UTAMI (Kritik SastraSastra Feminis)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Karya
sastra terlahir untuk kehidupan, karena itu dalam sastra selalu membicarakan
manusia dan hubungannya dengan kehidupan, baik itu antara manusia dan manusia,
manusia dengan alam/lingkungannya, maupun manusia dengan Tuhannya.
Setiap
karya sastra selalu menceritakan keadaan zamannya, itu dapat dibuktikan dari
beberapa novel seperti “Nyai Dasima”, “Siti Nurbaya”, “Ronggeng
Dukuh Paruk”, dan sebagainya. Hal itu tidak terlepas dari kedinamisan
sastra itu sendiri, senantiasa akan terus berubah sesuai dengan zaman, namun
sekalipun berubah tapi tidak akan pernah terlepas dari permasalahan kehidupan.
Periode
2000-an, ideologi feminisme berkembang pesat di Indonesia. Tidak hanya dalam
dunia nyata, ideologi feminisme terus berkembang masuk ke dalam dunia sastra
Indonesia, dan hal itu menjadi tanda kebangkitan wanita. Latar belakang dari
gerakan tersebut lahir karena adanya kesenjangan gender antara wanita dan
laki-laki, hal itu dapat dilihat dari
citra yang dibangun untuk wanita, baik dalam dunia kesusastraan maupun dalam
kehidupan nyata.
Collete
Dowling memperkenalkan istilah “Cinderella Complex”,
dimana perempuan masih dibayangi oleh rasa ketakutan sehinga ia tidak bisa dan
tidak berani memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara total.
Perbincangan yang semakin marak seputar gender itu meliputi peran gender,
kesetaraan gender, dan ketidakadilan gender dibahas, dipertanyakan, dan
diperdebatkan dalam agenda-agenda gerakan feminisme baik nasional maupun
internasional (Suhendi, 2006 : 14).
Dalam
sejarah umat manusia, derajat kaum wanita sering berada di bawah laki-laki. Hal
itu dapat diamati dari tradisi agama-agama besar di dunia. Tradisi Hindu
misalnya mengaitkan status perempuan dengan status sosial perempuan dilihat
sebagai pemberi keuntungan pada suami dalam mencapai tujuan hidup (dharma,
artha, kama). Tradisi Budha memandang perempuan sebagai makhluk yang selalu
bergantung pada pihak laki-laki. Dalam pandangan Yahudi, kejatuhan manusia ke
dalam dosa disebabkan oleh perempuan, sehingga perempuan dikuasai laki-laki.
Belum lagi tradisi dan penafsiran-penafsiran kitab suci yang disalah artikan,
serta ketergantungan perempuan dari segi ekonomi, psikologi, dan sosial membuat
sebuah doktrin bahwa laki-laki di atas perempuan.
Novel sebagai
salah satu bentuk karya sastra tidak akan pernah terlepas dari tokoh-tokoh di
dalamnya, baik itu tokoh perempuan maupun tokoh laki-laki. Budaya patriarkal
dalam masyarakat turut diadopsi dalam novel, sehingga tercipta tokoh wanita
yang selalu berada di bawah tokoh laki-laki. Pandangan tokoh laki-laki yang
demikian terwujud dalam segala bentuk sikap dan perbuatan yang akan melahirkan
penderitaan bagi tokoh wanita.
Bertolak
dari ideologi feminis yang mengarahkan wanita menjadi subjek yang sadar pada
identitas seksual dan gendernya, novelis wanita periode 2000-an mencoba
berjuang untuk menyejajarkan posisi wanita dan laki-laki. Budaya patriarkal
(posisi laki-laki di atas perempuan) berusaha dihapuskan oleh novelis 2000-an
(khususnya sastrawan perempuan).
Salah
satu cara yang digunakan oleh novelis wanita periode 2000-an dalam karya
sastranya adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang selama ini dianggap tabu,
misalnya seks. Namun di balik pengangkatan seks tersebut terdapat tujuan
politis yang jelas yaitu mengangkat citra kaum wanita sebagai subjek yang
merdeka (seks sebagai eksistensi keperempuanannya) bukan objek yang selalu
dieksploitasi oleh laki-laki. Selain itu gerakan feminis mencoba mengungkapkan
kekerasan yang dialami wanita, baik itu kekerasan psikis maupun fisik.
Novelis
2000-an memposisikan perempuan dipuncak, hak-hak dan kemerdekaan wanita mencoba
mereka usung. Bila dikaitkan dengan karya sastra novelis sebelumnya tentu ada
benang merah yang dapat ditarik, yaitu adanya ketidakpuasan terhadap pencitraan
wanita dalam karya sastra sebelumnya. Namun sejak munculnya novel Indonesia
modern tahun 1920-an, tokoh perempuan telah menjadi pusat perbincangan, dan hal
itu tampak dalam Novel “Siti Nurbaya”.
Diawali
dari rasa ingin tahu tentang penggambaran tokoh perempuan dalam sastra
Indonesia periode 2000-an dan sejauh mana gambaran tersebut membantu
menciptakan citra umum perempuan dalam masyarakat Indonesia, dan hal ini
bertolak dari hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma patriarchal
mendominasi sastra Indonesia (http://www.kompas.com).
Atas
dasar hal di atas pendekatan kritik
sastra feminis dengan alat analisis gender dimanfaatkan dalam kritik ini untuk
mengungkapkan citra tokoh wanita dalam novel “Saman” dan “Larung” karya
Ayu Utami. Agar citra tokoh wanita terungkap secara jelas maka penulis mencoba
mengidentifikasi bagaimana bentuk interaksi tokoh wanita dengan tokoh
laki-laki, bagaimana bentuk kekerasan yang dialami oleh tokoh wanita dengan
pendekatan sosiologi, dan terakhir mendeskripsikan citra tokoh wanita dari
citra fisik, citra psikis, citra sosial, serta peran dan kedudukan tokoh
wanita, dan dari bentuk interaksi dan kekerasan yang dialaminya. Alasan pemilihan
novel “Saman” dan “Larung” karena novel tersebut adalah novel
pemenang sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan
penulis dan pengertian, maka secara spesifik dalam penelitian ini
rumusan masalahnya sebagai berikut.
1)
Bagaimanakah bentuk interaksi antara
tokoh wanita dengan tokoh laki-laki dalam novel “Saman” dan “Larung” karya
Ayu Utami?
2)
Bagaimanakah bentuk kekerasan yang
dialami oleh tokoh wanita dalam novel “Saman” dan “Larung” karya Ayu
Utami?
3)
Bagaimanakah citra tokoh wanita dalam
novel “Saman” dan “Larung” karya Ayu Utami?
1.3 Tujuan
Penelitian
Tujuan yang
ingin dicapai adalah mengetahui citra tokoh wanita dalam novel “Saman” dan
“Larung” karya Ayu Utami.
1.4 Sumber Data
Karya
yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah novel “Saman” yang diterbitkan
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) tahun 1998,
dan novel “Larung” yang diterbitkan KPG tahun 2001 karya Ayu Utami.
Novel “Saman” dan “Larung” karena novel tersebut adalah novel
pemenang sayembara roman Dewan Kesenian Jakarta.
1.5
Batasan
Masalah
Tulisan
ini hanya membahas citra tokoh wanita ditinjau dari bentuk interaksi dan bentuk
kekerasan yang dialami tokoh wanita dalam novel “Saman” dan “Larung” karya Ayu
Utami.
1.6
Metode
dan Pendekatan
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif analisis yang akan mendeskripsikan bentuk
interaksi, bentuk kekerasan, serta citra tokoh wanita dalam novel “Saman” dan
“Larung” karya Ayu Utami. Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kritik sastra feminis dengan analisis gender.
1.7
Kajian
Teori
1.7.1 Pengertian Novel
Istilah novel masuk
ke Indonesia setelah masa kemerdekaan, pada masa penjajahan Belanda istilah
yang lebih dikenal adalah roman. Abrams
mengemukakan bahwa istilah novel berasal dari bahasa Italia novella
yang secara harfiah berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian
diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Nurgiyantoro, 1995 : 9).
Namun istilah novella mengalami pergeseran dalam kesusastraan Indonesia,
istilah novella sering disamakan dengan novelet yang berarti sebuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang dan tidak
terlalu pendek.
Pengertian novel menurut Zaidan, dkk. adalah sejenis
prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar, rekaan yang menggelarkan kehidupan
manusia atas dasar sudut pandang dan mengandung nilai hidup, diolah dengan
teknik kisahan dan ragam yang menjadi dasar konvensi penulisan. Sedangkan
menurut Yasin novel diartikan sebagai penceritaan kejadian yang luar biasa dari
kehidupan yang luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik,
suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka (Kusmawi, 2005 : 14).
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah prosa imajinatif yang
dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang mengisahkan kehidupan
dengan berbagai konflik di dalamnya.
1.7.2
Unsur-unsur Novel
Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyuluruhan
yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai
bagian-bagian, unsur-unsur, yang berkaitan satu sama lain. Secara tradisional
unsur-unsur tersebut dibagi ke dalam dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik.
Unsur-unsur yang membangun novel dari dalam disebut unsur
intrinsik, sedangkan unsur yang membangun novel dari luar disebut unsur
intrinsik.Unsur yang membangun cerita dari dalam seperti tema, tokoh dan
perwatakan, alur/plot, latar/setting, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa,
dan amanat. Sedangkan unsur yang membangun cerita dari luar seperti biografi,
sejarah, psikologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama.
1.7.3 Kritik Sastra
Feminis
1.7.3.1 Pengertian
Feminisme
Kata feminisme dikenalkan pertama
kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Kata
feminisme dipergunakan bentuk bahasa Inggrisnya pada tahun 1890 untuk
menunjukan perjuangan kaum perempuan dalam rangka meraih kesempatan yang sama.
Feminisme menurut Goefe ialah teori tentang persamaan antara laki-laki
dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan social; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007:
93).
Sugihastuti dan Saptiawan (2007 : 95)
mengemukakan bahwa feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi lebih
menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak
serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang
perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan
kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan.
1.7.3.2 Latar
Belakang Lahirnya Gerakan Feminisme
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan lahir di era pencerahan eropa, dipelopori
pemikiran Lady Mary Wortley Montagudan Marquis De Condorcet yang
menginginkan pendidikan untuk perempuan. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk
perempuan pertama kali didirikan di Middleberg, sebuah kota di selatan Belanda
pada tahun 1785.
Menjelang
abad 19 feminisme menjadi gerakan yang cukup mendapat perhatian dari para
perempuan kulit putih Eropa. Mereka memperjuangkan apa yang mereka sebut
sebagai universal sisterhood. Pergerakan di pusat Eropa kemudian
berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak buku John Stuart Mill
“The Subjection of Woman” (1869) diterbitkan. Perjuangan mereka menandai
kelahiran feminisme gelombang pertama.
Gerakan
ini memang diperlukan pada saat itu, saat kebebasan perempuan dipasung.
Perempuan dirugikan dalam segala bidang dan dinomorduakan oleh laki-laki dalam
masyarakat yang patriarkal. Dalam pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih
politik perempuan memiliki akses yang sangat kurang dibanding laki-laki.
Apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan
kaum laki-laki bebas di luar rumah dan kaum perempuan terkurung di dalam. Situasi
ini baru mulai berubah dengan datangnya era liberalisme di Eropa dan meletusnya
Revolusi Prancis di abad ke-18 yang gemanya menyebar ke seluruh dunia. Waktu
itu, seperti sekarang fundamentalisme agama juga cenderung menindas kaum
perempuan. Gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun
hanya dapat dijabat oleh pria. Bahkan kotbah-kotbah mimbar menempatkan
perempuan sebagai makhluk yang harus “tunduk kepada suami”.
Dengan
latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk “menaikkan derajat
kaum perempuan” tetapi gaungnya kurang keras. Baru setelah di Amerika Serikat
terjadi revolusi sosial politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan
mulai meningkat. Pada tahun 1792 Mary Wollstonecraft memberikan “A
Vindication of the Rights of Woman”, yang menjadi pondasi
prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari.
Pada
tahun 1830 sampai 1840, bersamaan dengan pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak perempuan mulai diperhatikan secara khusus. Jam kerja dan gaji mereka
mulai diperbaiki, mereka diberi kesempatan sekolah, dan diberi hak pilih ;
hal-hal yang selama ini hanya dinikmati oleh laki-laki (Jurnal Perempuan, 2007
: 128-129).
Akan
tetapi “A Vindiction of the Rights of Woman” tidak menaikkan tuntutan terhadap
keadlian pada ranah politik, sehingga memberi kesan bahwa kaum perempuan dapat
mengisi tugas-tugas mereka sebagai warga negara dari dalam batas kehidupan
domestik (Cavallaro Dani, 2001 : 201-202).
Fakih
menyatakan bahwa ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan
salah satu masalah pendorong lahirnya feminisme. Ketidakadilan gender
termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni marginalisasi atau
proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif,
kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden),
serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Stimson mengemukakan
sebab lain yang mendorong lahirnya feminisme bahwa kritik sastra feminis
berakar pada protes-protes perempuan melawan diskriminasi yang diderita dalam
masalah pendidikan dan sastra (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 96).
Feminisme
muncul sebagai gerakan perlawanan terhadap masyarakat yang patriarki. Bhasin
menjelaskan bahwa patriarki berarti kekuasaan bapak atau patriarch.
Istilah ini secara umum digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki ; hubungan
kuasa dengan apa laki-laki meguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang
menguasai perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara. Patriarki
membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan
perempuan yang dijadikan sebagai subordinatnya (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007
: 93).
Patriarki
menurut Bhasin merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas
laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, dalam mana perempuan dikuasai.
Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tingi
daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa
perempuan adalah bagian dari milik laki-laki. Dengan demikian terciptalah
konstruksi sosial yang tersusun sebagai kontrol atas perempuan dan laki-laki
berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 :
93).
Selanjutnya
Bhasin menguraikan bidang-bidang kehidupan perempuan yang normalnya
berada di bawah kontrol patriarki. Pertama, daya produktif atau tenaga kerja
perempuan. Laki-laki mengontrol produktivitas perempuan di dalam dan di luar
rumah tangga, dalam kerja bayaran. Di dalam rumah tangga, perempuan memberikan
semua pelayanan untuk anak-anak dan suaminya. Di luar rumah, laki-laki
mengontrol kerja perempuan melalui berbagai macam cara. Salah satunya dengan
pemilihan jenis pekerjaan yang oleh laki-laki dianggap cocok dengan perempuan.
Kedua, laki-laki juga mengontrol daya reproduktif perempuan. Dalam banyak
masyarakat, perempuan tidak memiliki kebebasan dalam menentukan jumlah anak
yang diinginkan, dan waktu untuk melahirkan anak. Hal tersebut berada di tangan
laki-laki sebagai pengambil keputusan. Ketiga, kontrol laki-laki juga berlaku
atas seksualitas perempuan. Perempuan diharuskan memberikan pelayanan seksual
kepada laki-laki sesuai dengan keinginan dan kebutuhan pihak laki-laki.
Perempuan diharuskan membatasi ekspresi seksualitas di luar nikah, sedangkan
laki-laki tidak. Keempat, gerak perempuan dikontrol untuk mengendalikan
seksualitas, produksi, dan reproduksi mereka. Perempuan dilarang meninggalkan
ruangan rumah tangga, pemisahan yang ketat antara privat dan publik, pembatasan
interaksi antara kedua jenis kelamin, dan sebagainya. Kelima, laki-laki juga
mengontrol harta milik dan sumber daya ekonomi lain dengan jalan sistem
pewarisan dari laki-laki kepada laki-laki. Meskipun perempuan dalam hal ini
memperoleh bagian, jumlahnya tidak sama atau lebih kecil dibandingkan dengan
yang diperoleh laki-laki (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 94).
Fakih
menyatakan feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai upaya
kontrol laki-laki di atas. Asumsi bahwa perempuan telah ditindas dan
dieksploitasi menghadirkan anggapan bahwa feminisme merupakan satu-satunya
jalan untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Sugihastuti dan
Saptiawan, 2007 : 95). Salah satu alasan yang mendukung hal ini adalah
kenyataan bahwa feminisme tidak hanya memperjuangkan masalah gender, tetapi
juga masalah kemanusiaan.
Munculnya
ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang
ada mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem
dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis yang
termanifestasikan dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan
artikel, novel, maupun media lain. Semua ini dilakukan dalam rangka
mentransformasikan gagasan atau pandangan sebagai bentuk kritik feminis
terhadap situasi dan pandangan sosial masyarakat (Sugihastuti dan Saptiawan,
2007 : 99).
1.7.3.3 Kritik
Sastra Feminis
Kritik
feminis dalam kesusastraan dikenal sebagai kritik sastra feminis. Yoder
menyebutkan bahwa kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan,
atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan. Arti
sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan
kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan
dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin ini membuat perbedaan pada
diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi
situasi karang-mengarang (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 99).
Menurut
Yoder feminisme diibaratkan sebuah quilt yang dibangun dan dibentuk dari
potongan-potongan kain lembut. Metafora ini dapat dikenakan sebagai metafora
pengertian kritik sastra feminis yang diibaratkan sebagai landasan kuat untuk
menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat secara sadar membaca karya
sastra sebagai perempuan. Dengan demikian, ideologi patriarki yang terdapat
dalam karya sastra dapat diketahui dan dibongkar (Sugihastuti dan Saptiawan,
2007 : 100).
1.7.3.4 Gender
dan Analisis Gender
Dalam
membahas masalah feminisme, terlebih dahulu harus dipahami konsep seks dan
konsep gender. Fakih menjelaskan kedua konsep tersebut sebagai berikut.
Pengertian seks atau jenis kelamin merupakan pensyifatan atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 95). Seks atau jenis
kelamin secara permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologis atau ketentuan
Tuhan (kodrat). Berbeda dengan seks, gender merupakan suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran
keagamaan maupun negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah baik dari
waktu ke waktu, dari suatu tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas ke
kelas lainnya.
West,
Candace dan Zimmerman memberikan pengertian bahwa
gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga
sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan. Selanjutnya Judith
Butler mendefinisikan gender sebagai
sesuatu yang kita tampilkan (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 4). Dengan kata
lain gender melekat dan mempengaruhi penampilan setiap orang sehingga nantinya
akan muncul sikap otoriter pada penampilan pribadi tersebut. Jenis kelamin dan
gender menyatu melalui pandangan masyarakat yang mencoba memadu-padankan cara
bertindak dengan kodrat biologis.
Kelamin
merupakan penggolongan biologis yang didasarkan pada sifat reproduksi
potensial. Kelamin berlainan dengan gender yang merupakan elaborasi sosial dari
sifat biologis. Gender membangun sifat biologis ; dari yang tadinya bersifat
alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada
posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, tidak ada alasan biologis
yang dapat menjelaskan mengapa perempuan harus berlenggok dan laki-laki harus
membusung. Walau demikian, batas bahwa kelamin bersifat biologis dan gender
bersifat sosial terlalu samar. Adalah sama sekali sulit untuk mengatakan bahwa
kelamin dan gender adalah hal yang sama sekali berbeda mengingat tidak ada
kriteria objektif untuk menggolongkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Kelamin adalah kombinasi unsur-unsur anatomis, endokrin, dan kromosom. Seleksi
pada kriteria tersebut erat hubungannya dengan kepercayaan kultural tentang
bagaimana mengatakan seseorang dengan sebutan laki-laki dan perempuan. Hal
tersebut adalah awal mula pembedaan biologis antara laki-laki dan perempuan ;
pemahaman orang mengenai diri mereka sendiri baik sebagai laki-laki atau
perempuan amat bersifat sosial.
MacKinnon
mendefinisikan gender sebagai pembagian perempuan dan laki-laki yang disebabkan
oleh keperluan heteroseksualitas sosial yang menginstitusionalkan dominasi
seksual laki-laki dan ketundukan seksual perempuan (Suhendi, 2006 : 51).
Definisi itu sudah mengukuhkan dan mengesahkan perempuan pada posisi
subordinasi, yaitu posisi yang meletakkan perempuan pada kebertingkatan relasi
seksual. Parameter itu bukanlah perbedaan biologis, melainkan perbedaan yang
dikonstruksi oleh sistem sosial dan kultural, seperti pandangan yang menyatakan
bahwa perempuan itu memiliki alat reproduksi seperti rahim, saluran untuk
melahirkan, sel telur atau ovum, memiliki vagina dan alat untuk menyusui adalah
suatu kodrat. Akan tetapi, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, dan keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, jantan, rasional,
dan perkasa adalah sifat-sifat yang bukan kodrati, melainkan dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang memiliki sifat lemah lembut,
emosional, dan keibuan. Sebaliknya, perempuan juga ada yang kuat, rasional, dan
perkasa. Perubahan sifat-sifat itu terjadi dari kurun waktu yang panjang dan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Bahkan perubahan itu terjadi dari kelas
masyarakat ke kelas masyarakat lainnya. Jadi, gender bukanlah kodrat, melainkan
peran yang ditampilkan oleh budaya, yang menempatkan perempuan dan pria menjadi
feminin atau maskulin. Oleh karena itu, Moose membatasi gender sebagai
seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan
kepada orang lain bahwa seseorang adalah feminin atau maskulin (Suhendi, 2006 :
52).
Melani
Budianta menjelaskan ada tiga prinsip dasar gender. Prinsip pertama adalah antideterminisme
biologis. Prinsip itu menyingkirkan anggapan bahwa perbedaan biologis (seks)
dapat menentukan perbedaan sikap, sifat, dan perilaku. Perspektif itu menolak
cara berpikir esesnsialisme yang tampak pada penggunaan istilah kodrat dan
takdir yang sering dipakai dalam wacana normatif untuk memberikan pembenaran
yang dianggap sakral atas pembedaan-pembedaan yang sebenarnya dikonstruksi
secara sosial dan kultural. Gagasan-gagasan maskulin dan feminin tidak muncul
begitu saja, tetapi produk budaya yang memiliki sejarah yang panjang. Karena
dua gagasan itu memiliki sejarahnya sendiri, dua stereotip ekstrem ini
berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan tuntutan zaman. Prinsip kedua adalah
keterkaitan. Prinsip itu menunjuk pada hubungan relasional. Artinya, gagasan
maskulinitas tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan gagasan feminitas. Dengan
demikian, pendekatan yang berwawasan gender mengoreksi kecenderungan sementara
kaum feminis yang memfokuskan perhatian hanya pada masalah wanita. Jadi,
istilah gender juga melingkupi pembedaan-pembedaan yang didasarkan atas segala
macam gagasan yang berhubungan dengan seks dan seksualitas. Prinsip ketiga adalah
multidimensi. Prinsip itu mengukuhkan bahwa masalah gender tidak bisa
dilepaskan dari keterkaitannya dengan aspek-aspek politik sosial, ekonomi,
budaya, juga norma-norma agama. Bahkan, pendekatan ini sering tidak dapat
dipisahkan dari kajian terhadap kategori-kategori sosial lainnya, seperti ras,
etnisitas, dan kelas (Suhendi, 2006 : 52).
Fakih
menyatakan bahwa perbedaan gender bukanlah persoalan yang serius sepanjang
perbedaan itu tidak mengakibatkan ketidakadilan gender. namun, yang terjadi
adalah bahwa perbedaan itu melahirkan ketidakadilan gender, baik terhadap
laki-laki maupun kaum perempuan. Ketidakadilan gender adalah sistem sosial dan
kultural yang seolah-olah adalah pakem yang melekat secara mutlak.
Ketidakadilan itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk seperti ; marginalisasi
atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan,
beban kerja lebih lama dan banyak, sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Manifestasi ketidakadilan itu bertalian erat dan saling mempengaruhi secara
dialektik (Suhendi, 2006 : 53).
1.7.3.5
Analisis Gender
Dalam
kritik sastra feminis, yang tidak dapat disingkirkan adalah jiwa analisisnya,
yakni analisis gender. Ada lima konsep analisis gender yang digunakan sebagai
dasar analisis. Pertama, perbedaan gender adalah perbedaan dari atribut-atribut
sosial, karakteristik, perilaku, penampilan, cara berpakaian, harapan, peranan,
dan sebagainya yang dirumuskan untuk perorangan menurut ketentuan kelahiran.
Kedua, kesenjangan gender adalah perbedaan hak dalam hal berpolitik, memberikan
suara, dan bersikap antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, genderzation
adalah pengacauan konsep pada upaya menempatkan jenis kelamin pada pusat
perhatian identitas diri dan dan pandangan dari dan terhadap orang lain.
Keempat, identitas gender adalah gambaran tentang jenis kelamin yang seharusnya
dimiliki dan ditampilkan oleh tokoh yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan
perbedaan perilaku sesuai dengan karakteristik biologis. Kelima, gender role
adalah peranan perempuan atau peranan laki-laki yang diaplikasikan secara
nyata. (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 100).
Soenarjati-Djajanegara
mengemukakan hal-hal penting yang layak diteliti dengan pendekatan feminis. Pertama,
mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan kemudian mencari kedudukannya dalam
masyarakat. Bagian ini berusaha mengungkap tujuan hidup tokoh perempuan serta
mencari tahu perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung
diberikan penulis. Kedua, meneliti tokoh lain terutama tokoh laki-laki yang
memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang diamati. Terakhir, mengamati
sikap pengarang terutama nada atau suasana cerita yang dihadirkan dalam novel.
Hal ini terkait erat dengan penggunaan bahasa oleh pengarang yang menulis
cerita. (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 : 101).
Dalam
hubungannya dengan kritik sastra yang lain, kritik sastra feminis tidak mencari
metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya menjadi pluralis
dalam teori dan prakteknya, dengan kebebasan dalam metodologi dan pendekatan
yang digunakan dalam pelaksanaan kritiknya. Dengan demikian, kritik sastra
feminis membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu lainnya seperti antropologi,
sosiologi, sejarah, etnologi, dan sebagainya (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007 :
101).
1.7.3.6
Interaksi Sosial
Ketika kita berbicara tentang
sastra dan gender, hal yang tidak bisa dipisahkan adalah interaksi sosial di
dalamnya. Menurut Susanto interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan
antarmanusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh memengaruhi yang menghasilkan
hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial.
Hasil interaksi sangat ditentukan oleh nilai dan arti serta interpretasi yang
diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi. Interaksi sosial
terbagi menjadi tiga, yaitu interaksi antara individu dengan individu,
interaksi antara individu dan kelompok, interaksi antara kelompok dengan kelompok. Proses
interaksi menurut Gillin dan Gillin terbagi menjadi proses interaksi yang
asosiatif dan proses interaksi yang disosiatif. Proses interaksi yang asosiatif
terdiri atas empat bentuk khusus yaitu kerjasama, akomodasi, asimilasi, dan
akulturasi.
Kerja sama merupakan suatu usaha
bersama antarorang-perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau
beberapa tujuan bersama.
Akomodasi diperguanakan dalam dua
arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan pada suatu proses. Sebagai
suatu keadaan, akomodasi berarti satu kenyataan adanya suatu keseimbangan dalam
interaksi antara orang-perorangan dan kelompok-kelompok manusia sehubungan
dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk
meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
Asimilasi adalah suatu proses
mengembangkan sikap-sikap yang sama, yang walaupun kadang-kadang bersifat
emosional. Asimilasi bertujuan mencapai kesatuan atau paling sedikit mencapai
suatu integrasi dalam organisasi sehingga dua kelompok yang berasimilasi akan
menghilangkan perbedaan diantara mereka.
Akulturasi adalah proses
percampuran atau penyatuan antara dua kebudayaan atau lebih, sehingga tercipta
satu bentuk budaya baru yang mempersatukan kedua belah pihak yang
berakulturasi.
Sedangkan proses interaksi yang disosiatif
terdiri atas tiga bentuk yaitu persaingan, contravension, dan konflik.
Persaingan adalah suatu proses
sosial ketika orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing
mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa
tertentu menjadi pusat perhatian publik dengan cara menarik perhatian publik
atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman
atau kekerasan.
Contravention
adalah suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan konflik dan
ditandai adanya gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang
atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau
keraguan terhadap kepribadian seseorang.
Konflik adalah suatu proses sosial
ketika orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya yang disertai ancaman atau kekerasan (Murdiyatmoko, 2007 : 76-79).
Interaksi tokoh dalam novel dapat
diartikan sebagai proses komunikasi yang terjadi baik antarindividu tokoh,
antara individu dan kelompok, maupun antarkelompok.
Oposisi jenis kelamin berdampak pada pola hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Dalam hubungannya dengan perempuan, laki-laki
sebagai superordinat sering menempatkan perempuan sebagai inferior. Pada
akhirnya, perempuan tidak hanya memunculkan perilaku inferior dalam hubungannya
dengan laki-laki, tetapi juga membentuk citra inferior yang mendorong diri
sendiri kepada posisi subordinat. Subordinasi dalam bentuk opresi dan peremehan
eksistensi perempuan merupakan manifestasi prasangka gender. Setiap bentuk
interaksi yang terjadi, akan melahirkan pandangan sehingga tujuan tokoh
melakukan interaksi akan terungkap. Ketika pandangan itu terungkap, maka akan
dapat terungkap peran tokoh wanita dalam interaksi tersebut, misalnya peran
sebagai mediator (perantara) antara tokoh laki-laki dan pekerjaan (Sugihastuti
dan Saptiawan, 2007 :122-123).
Breman
menjelaskan kata ‘mediator’ berhubungan erat dengan kata ‘broker’ dan
‘penengah’. Broker berfungsi dalam konteks hubungan masyarakat antara patron
atau pihak yang telah disamakan dengan patron, dengan pelanggan (Sugihastuti,
2007 : 127). Tidak semua orang dalam posisi perantaraan mampu bertindak sebagai
mediator atau broker. Orang yang membantu dalam pembentukan sebuah koneksi atau
perhubungan tidak serta merta dapat dianggap sebagai mediator. Istilah mediator
hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki kepentingan berbeda dengan pihak
ketiga, yang secara sadar dan aktif ikut serta dalam proses mediasi.
1.7.3.7
Bentuk Kekerasan
Proses interaksi yang dilakukan
tokoh wanita, akan melahirkan berbagai bentuk tindakan. Dalam budaya
patriarkal, sangat memungkinkan sekali jika tokoh wanita mendapat berbagai
perlakuan atau tindakan kekerasan. Saraswati menjelaskan bahwa kekerasan
merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, yang
pelakunya perseorangan atau lebih, yang dapat mengakibatkan penderitaan bagi
pihak lain (Sugihastuti, 2007 : 171). La Pona menjelaskan bahwa
kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah
laki-laki dengan mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian
atau penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan
atau sekelompok perempuan, termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam
dan/atau berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat
maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik (Sugihastuti, 2007
:172).
Dari definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tekanan dan
penindasan yang dapat menimbulkan penderitaan, baik itu penderitaan fisik
ataupun penderitaan psikis. Tindak kekerasan terhadap perempuan menurut
Sugihastuti dan Saptiawan (179 : 204) di antaranya adalah kekerasan fisik,
kekerasan emosional, kekerasan seksual,
dan kekerasan ekonomi.
Kekerasan fisik adalah segala macam
tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya. Kekerasan fisik
melibatkan penggunaan alat atau anggota tubuh.
Kekerasan emosional adalah
kekerasan yang melibatkan secara langsung kondisi psikologis perempuan yang
menjadi korbannya.
Kekerasan seksual dalam intensitas
paling ringan disebut pelecehan seksual. Bentuk pelecehan seksual yang
dikategorikan ringan adalah siulan nakal, kerdipan mata, gurauan, olok-olok
yang menjurus pada seks, dll. Sedangkan yang dikategorikan berat adalah
pemerkosaan.
Kekerasan ekonomi adalah segala
bentuk pemiskinan ekonomi terhadap wanita. Kekerasan ekonomi akan menyebabkan
ketergantungan ekonomi wanita terhadap laki-laki.
Berdasarkan kasus yang sering
terjadi, dapat diidentifikasi faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap
perempuan. Pertama, budaya patriarki yang mendudukkan laki-laki sebagai makhluk
superior dan perempuan sebagai makhluk inferior. Kedua, pemahaman yang keliru
terhadap ajaran agama sehingga menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai
perempuan. Ketiga, peniruan anak laki-laki yang hidup bersama ayah yang suka
memukul biasanya akan meniru perilaku ayahnya.
1.7.3.8
Citra
Interaksi
sosial yang dijalani tokoh wanita serta bentuk kekerasan yang dialaminya, akan
dapat membantu menyimpulkan bagaimana gambaran (citra) tokoh wanita dalam
novel. Citra tokoh wanita dapat diartikan sebagai gambaran tokoh wanita yang
meliputi sikap mental spiritual, serta tingkah laku tokoh wanita dalam novel.
Gambaran tokoh wanita tersebut meliputi gambaran fisik, psikis, dan social yang
dirinci sebagi berikut : pendidikan tokoh wanita, status sosial, relasi, dan
peran tokoh wanita.
II.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas bentuk
interaksi, lebih baik sinopsis novel tersebut disajikan sebelum pembahasan
secara utuh. Berikut kutipan puisi tersebut.
Sinopsis Novel “Saman”
Laila terbang
beribu-ribu mil ke Amerika, bukan untuk menemui Shakuntala, sahabatnya yang
mempunyai dua kepribadian tapi untuk menemui Sihar. Di sebuah taman bernama
Central Park Laila menunggu Sihar, lelaki yang telah merebut hatinya sejak
pertama kali ia bertemu. Namun Sihar tidak datang, Laila akhirnya pulang ke
apartemen Shakuntala dengan kekecewaan. Sebagai seorang sahabat, Shakuntala
ikut merasakan keskecewaan Laila, dan dalam pandangan Shakuntala, Sihar tidak
mencintai Laila.
Awal pertemuan Laila
dengan Sihar terjadi karena pekerjaan. Laila adalah seorang fotografer sebuah
CV yang mendapat kontrak untuk membuat profil perusahaan Texcoil Indonesia,
juga menulis buku tentang pengeboran di Asia Pasifik atas nama Petroleum
Extension Service. Sedangkan Sihar adalah Insinyur analis kandungan minyak
Seismoclypse, oil service yang dikontrak Petroleum Evtension Service. Laila
jatuh hati pada Sihar karena keacuhannya, sikapnya berbeda dengan kebanyakan
lelaki. Ketika Laila di sana terjadi sebuah ledakan yang membuat hilangnya
nyawa Hasyim Ali, teman Sihar. Ledakan itu diakibatkan oleh kecerobohan Rosano
sang pemilik perusahaan yang terus memaksa untuk melakukan pengeboran, padahal
Sihar sudah memperingatkan untuk tidak melakukannya.
Melihat kemarahan Sihar
karena kejadian itu, Laila punya kesempatan untuk mendekati Sihar. Laila
berhasil meyakinkan Sihar untuk membawa kasus itu ke pengadilan, karena rasa
simpati dan perasaannya pada Sihar maka Laila menghubungkan Sihar dengan kedua
temannya, seorang pengacara sekaligus aktivis yang bernama Yasmin dan seorang
aktivis yang bernama Saman, hal itu Laila lakukan agar dia bisa terus
berhubungan dengan Sihar. Berkat bantuan Saman dan Yasmin akhirnya kasus Rosano
berhasil dibawa ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara, meskipun Rosano
dijebloskan ke penjara karena kasus pemerkosaan bukan kasus hilangnya nyawa
Hasim Ali. Setelah kasus itu selesai, Laila dan Sihar tetap berhubungan
meskipun Laila dihadapkan pada kenyataan bahwa Sihar sudah mempunyai istri.
Saman adalah seorang
aktivis perburuhan dan lingkungan di Sumatera Selatan yang mengelola sebuah
LSM. Athanasius Wisanggeni nama aslinya, seorang pastur muda yang dulu pernah
menjadi pembimbing retret sewaktu Yasmin, Laila, dan dua orang temannya yaitu
Cok dan Shakuntala duduk di bangku SMP. Sesudah dilantik menjadi pater
Wisanggeni ditugaskan di pulau Siberut, namun panggilan tanah masa
kanak-kanaknya membuat ia ingin bertugas di Sumatera Selatan, tepatnya di
Perabumulih. Berkat bantuan Romo Daru, Wisanggeni akhirnya ditugaskan di sana.
Takdir mempertemukannya
dengan seorang gadis gila bernama Upi, gadis itu masuk ke dalam sumur di
belakang rumah yang ditempati Wisanggeni. Wisanggeni menolongnya, kemudian
mengantarkan Upi ke rumahnya, yaitu daerah transmigran Sei Kumbang. Upi
dikurung dan dipasung oleh keluarganya, itu dikarenakan ketidakmampuan keluarga
Upi untuk membawanya ke rumah sakit jiwa.
Wisanggeni merasa iba pada gadis itu, hingga Wisanggeni selalu
terpanggil hatinya untuk memperbaiki kehidupan Upi dan keluarganya.
Semakin sering
Wisanggeni berada di sana, semakin paham pula Wisanggeni terhadap kehidupan
masyarakat transmigran Sei Kumbang yang miskin, hatinya tergugah untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat transmigran Sei Kumbang. Berkat modal, dan
kepandaian Wis mengelola perkebunan, usaha Wisangeni untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat transmigran Sei Kumbang mulai membuahkan hasil, para petani
karet Sei Kumbang mulai merasakan keuntungan dari getah karet yang ditanamnya.
Ketika petani karet Sei
Kumbang mulai menikmati keuntungan dari tanaman karetnya, tiba-tiba sebuah
perusahaan dengan izin Gubernur meminta agar petani Sei Kumbang mengganti karet
yang ditanamnya dengan kelapa sawit. Tidak hanya itu, bahkan beberapa orang
yang ditugaskan oleh perusahaan tersebut berusaha menipu para petani karet
untuk menyerahkan lahannya kepada perusahaan itu.
Karena sebagian
masyarakat Sei Kumbang menolak melaksanakan perintah perusahaan itu, akhirnya
upaya-upaya dalam bentuk terror dilakukan oleh oknum perusahaan tersebut.
Dimulai dengan pemerkosaan terhadap Upi, kemudian pemerkosaan terhadap istri
Anson. Dari peristiwa itu masyarakat Sei Kumbang kemudian menyerang dan
membakar pos polisi penjaga perkebunan. Setelah berhasil membakar pos polisi
tersebut warga Sei Kumbang lari bersembunyi ke hutan. Wisanggeni yang tidak
ikut dalam penyerangan itu akhirnya ditangkap dan rumah-rumah penduduk serta
rumah asap yang telah di bangunnya dibakar, dan Upi yang terkurung di rumah
buatan Wisanggeni juga terbakar.
Wisanggeni ditahan,
berbagi penyiksaan dia alami. Akibat rasa sakit yang dialaminya, Wisanggeni
mengarang cerita bahwa dia adalah seorang komunis yang menyaru sebagai pastor.
Wisanggeni dibebaskan oleh Anson dan teman-temannya yang membakar pabrik tempat Wisanggeni ditahan,
lalu Wisanggeni bersembunyi di rumah suster Boromeus di Lahat. Beberapa hari
kemudian Koran memberitakan bahwa Wisanggeni adalah aktor intelektual di balik
perlawanan masyarakat Sei Kumbang, ia dituduh menghasut warga Lubuk Rantau
untuk menghalangi pembangunan perkebunan kelapa sawit, sekaligus mengajarkan
teologi pembebasan yang berpaham komunis. Namun keberadaan Wisanggeni
diragukan, beberapa orang mengira Wisanggeni ikut terbakar bersama pabrik itu.
Wisanggeni kemudian
mengganti kartu identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan, dan
ia memilih nama Saman. Saman mendirikan sebuah LSM sekaligus menjadi aktivis
perburuhan dan orang-orang kecil. Beberapa tahun kemudian, di Medan terjadi
unjuk rasa buruh besar-besaran yang berakhir dengan kerusuhan. Dari informasi
yang diberikan Yasmin, Saman termasuk kepada daftar orang yang diburu.
Yasmin kemudian
membujuk Saman agar melarikan diri ke luar negeri, dan usaha Yasmin membujuk
Saman berhasil. Yasmin bersama Cok membantu pelarian Saman ke luar negeri,
tidak hanya itu, di Amerika tempat pelarian Saman, Yasmin telah menyiapkan
pekerjaan di Human Rights Watch untuk Saman. Dalam pelarian itu, Yasmin
dan Saman terlibat dalam kisah cinta.
Sinopsis Novel “Larung”
Larung
Lanang nama lelaki itu. Anak Nyoman Pintar, seorang tentara yang diculik dan
tidak kembali lagi karena dituduh terlibat dalam kudeta PKI. Ibu Nyoman Pintar
adalah Anak Agung Stya Adnyani, seorang putri dari keluarga Keraton Gianyar
yang pada masa gadisnya kabur meninggalkan keraton bersama seorang lelaki
Belanda. Adnyani kemudian dicoret dari keturunan Raja Gianyar, karena dianggap
telah mencemari nama keluarga Raja Gianyar dan tidak pernah kembali meminta
maaf. Namun berkat perjuangan Larung, akhirnya pada waktu neneknya itu
meninggal abu jenasahnya diizinkan oleh keluarga besar keturunan Raja Gianyar
untuk disembahyangkan dalam upacara ngaben keluarga.
Perkenalan
Larung dengan Cok terjadi pada saat upacara ngaben famili jauh. Cok tertarik
untuk mendengar dongeng tentang hidup nenek Larung yang seru, dan karena alasan
itu Cok mendekati Larung. Setelah melarikan Saman ke luar negeri, terjadi
pembredelan tiga majalah oleh pemerintah. Demonstrasi gabungan terjadi waktu
itu. Yasmin sebagai pengacara dan aktivis ikut memprotes pembredelan itu, ia
ikut dalam aksi-aksi wartawan yang membentuk Aliansi Jurnalis Indonesia.
Sementara itu, Larung yang mempunyai majalah lokal berbahasa Indonesia dan
Inggris di Bali, merasa terlibat juga dengan peristiwa itu. Larung ikut
demonstrasi itu, dan pada saat menginap di rumah Cok, Larung dikenalkan pada
Yasmin, dan ternyata keduanya cocok. Sejak saat itu Larung, Cok, dan Yasmin
berteman baik, bahkan mereka sering membikin kerja sama.
Cok
dan Yasmin pergi ke New York. Mereka sengaja pergi ke sana agar bisa berkumpul
dengan kedua sahabatnya, yaitu Shakuntala dan Laila. Kepergian Yasmin ke New
York selain untuk bertemu sahabatnya juga ingin bertemu dengan Saman sekaligus
mengurusi masalah advokasi dengan Human Rights Watch. Keempatnya kemudian
berkumpul, namun Laila tampak begitu murung karena Sihar tidak menepati
janjinya. Dalam sebuah pertemuan Laila, Yasmin, Cok, dan Shakuntala bertemu
Saman, Sihar, dan istrinya. Hati Laila semakin hancur ketika dia tahu bahwa
Sihar pergi ke New York bersama istrinya. Kekecewaan Laila pada Sihar membuat
Shakuntala merasa iba, tanpa disadari Laila dan Shakuntala terlibat dalam
hubungan sejenis.
Setelah
urusannya selesai, Yasmin. Laila, dan Cok kembali lagi ke Jakarta. Dua minggu
kemudian Yasmin mengabarkan pada Saman bahwa situasi di Jakarta sedang tegang.
Sudah satu bulan para pendukung Megawati bertahan di kantor PDI di Jalan
Diponegoro. Setiap hari ada unjuk rasa anti Orde Baru. Pemerintah memberikan
batas waktu dan sudah bersiap-siap untuk menyerang kantor PDI tersebut. Dalam
emailnya juga Yasmin menceritakan tentang kebahagiannya jika bersama Saman yang
tidak dia dapatkan dari Lukas suaminya, tentang masa lalunya yang membuat dia
menjadi seorang masokis, tentang kegeramannya pada tindak kejahatan yang
dilakukan laki-laki pada perempuan.
Saman
juga menerima kabar dari Larung yang bercerita tentang lokasi untuk percetakan
bawah tanah. Saman dan Larung tidak saling mengenal, namun dari alamat emailnya
Saman tahu bahwa Larung ini telah diterima dalam gerakan tempat Yasmin berada.
Saman mulai berhubungan dengan Larung sejak setahun lalu, ketika ada kasus
penganiayaan di Bali oleh satu perusahaan asing. Larung kemudian menghubungi
Saman untuk advokasi luar negeri. Larung memperkenalkan diri sebagai pemilik
sekaligus pengelola sebuah media turisme dwibahasa di Bali, dan Larung
mengatakan bahwa dia mendapatkan alamat itu dari Yasmin.
Saman
mendapat berita dari Yasmin, setelah lebih dari satu bulan pendukung Megawati
bertahan, pasukan Orde Baru akhirnya menyerbu kantor itu, kemudian terjadi
bentrokan antara pendukung Megawati dengan Aparat. Pada hari kesepuluh setelah
kerusuhan, Yasmin mengabarkan bahwa dia menyembunyikan aktivis Solidarlit
(Solidaritas pada wong alit) yang sedang diburu militer yaitu Wayan Togog,
Bilung, dan Koba. Yasmin juga memberitahukan tentang berbagai penangkapan
aktivis yang terjadi. Ketiga aktivis tersebut ingin dilarikan ke luar negeri.
Yasmin telah merancang pelarian ketiganya, Larung akan mengurusi perjalanan di
dalam negeri dan mengantarkan ketiga aktivis itu ke Kijang, pelabuhan di pulau
Bintan, dan Saman akan menjemputnya di sana.
Dalam
perjalanannya ke pulau Bintan, Saman dipertemukan dengan Anson. Saman menemukan
kenyataan lain, bahwa Anson yang dulu seorang petani karet kini menjadi
perompak. Namun Saman tidak bisa menyalahkan Anson, sebab kesulitan hidup yang
dialami Anson lebih berat dari yang dialaminya. Anson mengantarkan Saman sampai
ke pulau Bintan dengan selamat. Menginjak tanah airnya, Saman merasa gembira
karena telah beberapa tahun ia meningggalkannya. Sementara itu Larung dan
ketiga aktivis Solidarlit juga tiba di pulau Bintan.
Pada
hari ketiga Saman dan Larung bertemu, namun ketika mereka berbincang-bincang
Larung menyadari bahwa jejak mereka telah ditemukan oleh polisi. Larung kembali
ke penginapan untuk menjemput ketiga aktivis itu keluar dari hotel, sementara
Saman berusaha mengalihkan perhatian intel yang berjaga di luar. Dari
keterangan yang diberikan oleh Koba, Larung dapat menyimpulkan bahwa jejak
mereka tercium karena kecerobohan Koba yang menghubungi Kakaknya dari wartel,
Wayan Togog dan Bilung yang masih menyimpan radio panggil. Namun, Larung dan
ketiga aktivis itu berhasil kabur ke dermaga begitu juga Saman. Tanpa
berlama-lama lagi kelima orang itu naik ke atas perahu yang telah disiapkan
Anson, dan kapalpun segera bertolak dari dermaga itu.
Di
belakang, dari sisi Pulau Hantu mereka melihat cahaya kapal, meski kabut menghalangi.
Kapal itu melaju lebih cepat menuju kapal mereka. Dari balik tirai hujan yang
berlapis mereka melihat sebuah kapal Thailand yang berpagar. Namun isinya
ternyata polisi air, mereka segera tahu bahwa polisi air memakai kapal sitaan,
dan mereka segera menyadari bahwa mereka tertangkap. Dari kapal itu keluar
orang-orang berseragam polisi yang kemudian memborgol mereka. Yang pertama
disiksa adalah Larung, karena kabur dari hotel dengan memakai motor polisi.
Melihat perlakuan itu, Saman teringat pada waktu dulu dia disiksa.
Beberapa
menit kemudian, dua speedboat mendekati kapal itu. Dari dalam speedboat
keluarlah beberapa orang perwira militer. Dari pembicaraannya, Saman segera
tahu bahwa perwira itu adalah orang-orang pusat. Setelah bernegosiasi dengan Serka
Polisi yang memimpin operasi itu, mereka dipindahkan ke kapal lain. Perwira itu
memeriksa semua kartu identitas mereka, kemudian memisahkan mereka. Wayan
Togog, Koba, dan Bilung dalam satu perahu, sementara Saman, Larung, dan Anson
di perahu lain. Di perahu itu Larung terus membuat kesal perwira yang bertanya
padanya, Larung sama sekali tidak menjawab pertanyaan perwira itu, bahkan
dengan sengaja ia terus mengejek dan membeberkan tentang peristiwa-peristiwa
sejarah yang membuat perwira itu kesal dan malu. Akhirnya ocehan Larung
berhenti bersama letupan pistol yang pertama, kemudian letupan pistol kedua
membuat Saman yang dari tadi diam kian tambah diam. Dalam diam yang sepertiga
detik itu yang Saman inginkan hanyalah pamit pada Yasmin.
2.1
Bentuk Interaksi Tokoh Wanita dengan
Tokoh Laki-laki dalam Novel “Saman” dan “Larung” Karya Ayu Utami
Proses
interaksi yang dilakukan tokoh wanita dalam novel “Saman” dan “Larung” terdiri
atas proses interaksi asosiatif dan disosiatif. Proses interaksi asosiatif dalam
novel “Saman” dan “Larung” berbentuk kerjasama, baik antartokoh wanita dengan
tokoh laki-laki maupun antara tokoh wanita dengan orgainisasi. Sedangkan proses
interaksi yang disosiatif dalam novel “Saman” dan “Larung” berbentuk konflik,
baik konflik antara tokoh wanita dengan laki-laki maupun antara tokoh wanita
dengan lingkungan sosial. Proses interaksi yang dilakukan tokoh wanita dalam
novel “Saman” dan “Larung” didasarkan pada orientasi yang bersifat pribadi yang
menunjuk pada keinginan tokoh wanita yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (orientasi motivasional), dan orientasi yang menunjuk pada
standar-standar normatif (baik dan buruk serta benar dan salah).
Tabel
di bawah ini akan menjelaskan proses interaksi yang terjadi dalam novel “Saman”
dan “Larung”.
Proses
|
Bentuk
|
Pola
Interaksi
|
Orientasi
|
Pelaku
|
Asosiatif
|
Kerjasama
|
Antarkelompok
|
Motivasional
|
Perusahaan
Laila, Rosano dan Sihar
|
Asosiatif
|
Kerjasama
|
Antarindividu
|
Motavisional
dan Nilai
|
Laila
dan Sihar
|
Asosiatif
|
Kerjasama
|
Antarkelompok
|
Nilai
/ Sosial
|
Laila,
Sihar, Yasmin, dan Saman
|
Disosiatif
|
Konflik
|
Kelompok
dan Individu
|
Nilai
/ sosial
|
Yasmin,
Laila, Saman, Sihar dengan Rosano
|
Asosiatif
|
Kerjasama
|
Antarindividu
|
Motivasional
|
Cok,
Saman, Larung, dan Tokoh Lain
|
Asosiatif
|
Kerjasama
|
Individu
dan Kelompok
|
Motivasional
dan Nilai
|
Yasmin,
Larung, dan Saman
|
Disosiatif
|
Konflik
|
Antarkelompok
|
Nilai
|
Yasmin,
Saman, Larung, dan aktivis dengan Orde Baru
|
Disosiatif
|
Konflik
|
Antarindividu
|
Nilai
|
Shakuntala
dan Keluarganya
|
2.1.1
Bentuk Interaksi Asosiatif
1)
Bentuk Interaksi antara Laila dengan
Sihar dan Saman
Di
bawah ini adalah skema yang menjelaskan tentang proses interaksi yang
dijalankan Laila dengan Sihar.
Pada
awalnya proses interaksi yang terjadi antara Laila dan Sihar adalah proses
interaksi yang terjadi karena pekerjaan. Laila adalah seorang forografer dari
sebuah CV yang mendapat kontrak untuk membuat profil perusahaan dan membuat
buku tentang pengeboran di Asia Pasifik, sedangkan Sihar adalah adalah pekerja
yang dikontrak oleh perusahaan Rosano untuk melakukan pengeboran. Sikap Sihar
yang yang terkesan beda dengan pekerja yang lain menumbuhkan rasa simpati dalam
diri Laila dan rasa simpati itu kemudian berkembang menjadi rasa tertarik. Hal
itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Perempuan itu
dipanggil Laila. Lelaki itu Toni. Keduanya datang setelah rumah produksi yang
mereka kelola-CV bukan PT-mendapat kontrak untuk mengerjakan dua hal yang
berhubungan” (Saman, 1998 : 8).
..…………………………………………………………………….
………………………………………………………………………
Yang pertama
adalah Sihar Situmorang, insinyur analis kandungan minyak, orang yang membuat
Laila tertarik karena ketidakacuhannya dan posturnya yang liat” (Saman, 1998 :
10).
Ketertarikan
Laila juga didasarkan oleh sikap Sihar yang menghormati wanita. Bagi Laila
sikap pekerja yang lain yang bersiul ketika ia lewat dan menatapnya dengan
penuh semangat membuat ia merasa sebagai makhluk yang beda dari kaum lelaki,
sehingga membuat ia merasa tidak nyaman berada di tempat itu. Hal itu
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Tapi terdengar
orang-orang bersiul ketika mereka sudah lewat. Laila mulai merasa asing sebagai
satu-satunya perempuan di tempat ajaib ini.” (Saman, 1998 : 8).
..…………………………………………………………………….
………………………………………………………………………
Orang-orang yang
kami hampiri segera menatap saya dengan mempertontonkan semangat. Sebab saya
satu-satunya perempuan. Tetapi salah satunya, yang tadi menepuk pundak
temannya, nampak tidak peduli. Ia mendongak ke arah Laila selintas saja,
mengelibatkan pantulan cahaya dari kacamatanya, lalu kembali membungkuk,
memeriksa mesin tadi” (Saman, 1998 : 9-10).
Kemudian
rasa tertarik Laila pada Sihar menjadi semakin besar setelah terjadi ledakan di
rig yang menewaskan Hasyim Ali, sahabat Sihar. Bagi Laila, Sihar adalah sosok
lelaki yang tegas dan berani. Hal ini dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Sihar orang yang
bisa bicara dengan kata kasar kepada atasan atau dalam pekerjaan, seperti
kepada Rosano ………………” (Saman, 1998 : 25).
Kemarahan
Sihar kepada Rosano yang memaksa agar pekerja melaksanakan perintahnya,
dimanfaatkan oleh Laila. Hal itu didasarkan pada ketertarikan Laila pada Sihar.
Laila kemudian menawarkan kerja sama untuk menuntut Rosano melalui Saman dan
Yasmin, dan tindakan itu didasarkan pada keinginan Laila agar bisa terus
berhubungan dengan Sihar. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Laila sendiri
sudah terlanjur tertarik pada Sihar.
Kenapa kasus ini
tidak diajukan ke pengadilan saja?
Saya punya teman
pengacara.
Di samping
menggugat Texcoil, kasus ini harus dikampanyekan di media massa. Harus ada
orang-orang yang mau mendukung keluarga korban jika terjadi tekanan-tekanan.
Harus ada LSM yang memprotes dan mengusiknya terus. Dan saya punya teman yang
bisa mengerjakan itu namanya Saman. Dan Yasmin Moningka pengacara………………”
(Saman, 1998 : 21).
Sihar
menerima usul Laila, sementara keinginan Laila untuk terus berhubungan dengan
Sihar tercapai. Bahkan sampai kasus itu selesai pun Laila dan Sihar masih tetap
berhubungan, meski komunikasi di antara berjalan kurang lancar. Interaksi
tersebut terhambat karena Sihar telah mempunyai isteri.
Sementara
itu proses interaksi Laila dan Saman adalah proses interaksi yang semata-mata
dilakukan Laila untuk Sihar, meski dulu Laila sempat mempunyai perasaan pada
Saman. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“.…………………………………………………………………….
………………………………………………………………………
Saya tak
mengerti kenapa teman saya memilih nama yang merugikan itu. Saya menelepon
lembaganya, dia tak mengenali suara saya sama sekali. Saya tidak kecewa.
Barangkali hampir sepuluh tahun kami tidak bertemu. Ada peraasaan geli namun
rindu mengingat bahwa saya pernah begitu menyukai dia. Tapi itu sudah lalu. Dan
hati saya kini terarah pada Sihar”
(Saman, 1998 : 24).
Di
bawah ini adalah skema yang menggambarkan bentuk interaksi antala Laila dengan
Saman.
Proses
interaksi yang dijalankan Laila dengan Saman adalah proses interaksi asosiatif.
Proses asosiatif itu didasarkan atas ketertarikan Laila dan keinginannya untuk
mendekati Sihar. Selain itu proses interaksi itu juga didasarkan atas nilai
normatif bahwa Rosano memang bersalah dan harus dihukum. Proses asosiatif
antara Laila dan Saman berbentuk kerjasama antar Laila dan LBH yang dikelola
Saman.
Di
sisi lain, Laila telah berhasil menjadi mediator (perantara) yang menghubungkan
Sihar dengan Yasmin dan Saman yang membuat keinginan Sihar untuk membawa kasus
kematian Hasyim Ali ke meja hijau berhasil. Melalui Yasmin dan Saman akhirnya
Rosano berhasil diperkarakan, meski untuk kasus itu Rosano berhasil bebas. Tapi
Rosano kemudian dipenjara karena kasus pemerkosaan, dan di balik kasus
pemerkosaan itu ada andil Saman. Skema berikut menggambarkan peran yang
dijalankan Laila sebagai mediator.
Dari
peran yang dijalankan Laila dalam proses interaksinya dengan tokoh laki-laki,
nampak bahwa konsep patriarkal yang memandang rendah wanita dan memposisikan
wanita sebagai objek yang hanya berperan sebagai pengurus anak, suami, dan
pekerjaan rumah lainnya tidak nampak dan hal itu disebabkan Laila mempunyai
akses dan pergaulan yang luas. Proses interaksi Laila dan Sihar berorientasi
pada kebutuhan masing-masing dan nilai normatif. Tidak ada paksaan atau tekanan
dalam interaksi yang mereka lakukan.
2)
Bentuk Interaksi antara Yasmin dengan
Saman dan Larung
Di
bawah ini adalah skema yang menjelaskan tentang bentuk interaksi yang
dijalankan Yasmin dengan Saman.
Proses
interaksi yang dijalankan Yasmin dan Saman pada awalnya adalah proses interaksi
antara individu dan kelompok. Saman sebagai individu yang membimbing sekelompok
siswa (Yasmin, Cok, Laila, dan Shakuntala) pada waktu mereka SMP. Interaksi
tersebut didasarkan atas pekerjaan dan tugas, dan setelah mereka lulus SMP maka
proses interaksi pun menjadi terhenti. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di
bawah ini
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Dulu cowok itu
adalah frater pembimbing retret di SMP……” (Larung, 2001 : 86).
Beberapa
tahun kemudian, Yasmin dan Saman melakukan interaksi. Hal itu dikarenakan
kesamaan pekerjaan, Yasmin sebagai aktivis sekaligus pengacara dan Saman juga
sebagai aktivis. Adanya kesamaan pekerjaan membuat Yasmin dan Saman sering
melakukan interaksi, di samping itu adanya kesamaan pandangan membuat mereka
terus melakukan interaksi. Ha ltu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Mereka bertemu
lagi setelah bertahun-tahun. Saman kini jadi aktivis, sama dengan Yasmin, yang
pengacara sekaligus aktivis” (Larung, 2001 : 86).
Seringnya
mereka berinteraksi, kesamaan pandangan, dan juga rasa kagum pada diri
masing-masing, membuat Yasmin dan Saman terlibat dalam hubungan yang didasarkan
perasaan. Selain itu faktor lain yang membuat Yasmin berhubungan dengan Saman
adalah rasa bosannya pada Lukas suaminya yang terus sibuk dengan pekerjaannya.
Dengan demikian interaksi yang mereka lakukan tidak semata didasarkan atas
pekerjaan saja, tetapi juga atas dasar perasaan. Hal itu dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Aku mengerti
jika kemudian Yasmin naksir cowok kerempeng itu sejak mereka sering terlibat.
Sebab, suaminya mulai menjadi birokrat BPPT yang kelewat anteng dan empuk yang
pasti membosankan Yasmin. Aku aja bosen sama Lukas, apalagi dia yang tiap hari
ketemu. Tahun lalu, Saman diburu oleh polisi dan tentara karena dianggap menjadi
dalang kerusuhan di Medan. Gimana dia nggak nampak eksotis di mata Yasmin?
Miskin, kurus, kotor, dan buron” (Larung, 2001 : 86).
Ketika
Saman diburu, Yasmin khawatir akan keselamatan Saman dan hal itu didorong oleh
perasaannya. Dengan dalih keputusan kelompok akhirnya Yasmin bersama dengan Cok
bertindak dengan membawa kabur Saman ke luar negeri. Tidak hanya itu, di luar
negeri Yasmin telah menyiapkan pekerjaan untuk Saman. Hal itu dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini.
“..…………………………………………………………………..
..……………………………………………………………………
Menurut lobi
ayahnya di kepolisian Jakarta, aku termasuk lima orang yang paling diburu. Ia
membujukku untuk melarikan diri ke luar negeri. Katanya, itu bukan pendapatnya
sendiri, melainkan kesepakatan kawan-kawan yang lain. Kebetulan Human Rights
Watch butuh seseorang untuk membuat jaringan di Asia Tenggara. Ia seperti
memaksaku menerima pekerjaan itu” (Saman, 1998 : 174-175).
Dalam
pelarian Saman ke luar negeri, rasa ketertarikan antara Yasmin dan Saman
terbukti, mereka melakukan sebuah hubungan yang seharusnya tidak dilakukan
karena masing-masing telah terikat; Yasmin sudah mempunyai suami dan Saman
adalah seorang pastor. Tapi baik Yasmin atau Saman tidak menyesali perbuatan
itu. Yasmin merasa menjadi dirinya sendiri ketika berhubungan dengan Saman.
Bentuk interaksi yang didasarkan atas perasaan memperkuat proses interaksi yang
dijalankan keduanya. Di samping untuk mengurusi pekerjaan, Yasmin dan Saman
juga berinteraksi untuk hal lainnya, yaitu perasaan. Hal itu dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini.
“..…………………………………………………………………..
..……………………………………………………………………
Terbangun dengan
kacau. Sejak kabur dari paroki, aku tak pernah berpikir meninggalkan kaulku.
Kini tubuhku penuh pagutan. Tak tahu bagaimana Yasmin tertarik padaku yang kurus
dan dekil?Ia begitu cantik dan bersih. ………………………………………” (Saman, 1998 : 177).
………………………………………………………………………
………………………………………………………………………
Saman,
bertahun-tahun aku hidup dengan fantasi itu, tanpa pernah mewujudkannya. Hingga
hari aku bertemu kamu lagi. Kamu membangkitkan kembali khayal kanak-kanakku
yang lama ku khianati” (Larung, 2001 : 161).
………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Tapi ketika aku
ceritakan pada Yasmin, ternyata malah dia yang lebih bersemangat. Katanya “Biar
aku ikut menggung perjalanan Laila. Kasihan dia. Nanti duitnya habis. Lagipula
aku juga perlu ke beberapa organisasi di sana untuk cari dukungan buat gerakan
demokrasi di Indonesia.” Langsung aku ngakak dan menjerit, “Hore dapat alasan
untuk bisa pacaran sama Saman, nih ye!” (Larung, 2001 : 90).
Proses
interaksi Yasmin dan Larung dimulai pada saat Larung menginap di rumah Cok.
Berikut adalah skema yang menggambarkan bentuk interaksi Yasmin dengan Larung.
Larung diperkenalkan pada Yasmin
yang sama-sama akan mengikuti demo gabungan. Ada kecocokan antara Yasmin dan
Larung, terbukti mereka beberapa kali mengadakan kerja sama dalam bidang
pekerjaan. Lebih jauh lagi kerja sama itu membuat Larung terlibat dalam gerakan
Yasmin dan para aktivis, hal yang membuat Larung diterima di tempat gerakan
Yasmin adalah karena kerapihan Larung dalam bekerja. Hal itu dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini.
“..……………………………………………………………………
…………………………………………………………………….
..
Ketika itulah ia
kukenalkan pada Yasmin. Rupanya, kemudian mereka cocok. Setelah itu, mereka
beberapa kali membikin kerja sama. Kami bertiga menjadi teman baik” (Larung,
2001 : 95).
..……………………………………………………………………..
....……………………………………………………………………
Nggak. Aku
senang sama dia, Cok. Kalau kuperhatikan dia orang yang tanggung jawab. Susah
sekali mendapatkan aktivis yang begitu rapi membikin laporan keuangannya”
(Larung, 2001 : 94).
Kerja
sama antara Yasmin dan Larung terus berjalan dengan baik, sampai pada suatu
saat Larung dihubungkan oleh Yasmin kepada Saman. Interaksi Saman dan Larung
adalah interaksi pekerjaan. Larung berencana membuat sebuah percetakan bawah
tanah sementara Saman bertugas mencari dana di luar negeri. Sementara itu suhu
politik di Indonesia semakin memanas, banyak demonstrasi dan penangkapan
aktivis yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru. Yasmin menyembunyikan
ketiga aktivis yang rencananya akan dilarikan ke luar negeri. Untuk melarikan ketiga
aktivis tersebut, Larung ditugaskan untuk mengantarnya sementara Saman yang
akan menjemputnya, namun rencana itu tidak berjalan lancar hingga akhirnya
mereka tertangkap.
Peran
Yasmin dalam melarikan Saman dan memberikan pekerjaan di Amerika menjadikan
Yasmin sebagai mediator. Bentuk perantaraan yang dilakukan Yasmin adalah
perantaraan kepada pekerjaan. Tidak hanya itu, dengan menempatkan Saman dan
mempekerjakannya di Human Rights Watch berarti Yasmin telah
menghubungkan Human Rights Watch dengan iklim demokrasi di Indonesia,
bahkan Asia Tenggara. Di bawah ini adalah skema yang menggambarkan bentuk
perantaraan yang dilakukan Yasmin.
Tindakan Yasmin dalam proses
interaksinya dengan tokoh laki-laki telah menghapus konsep patriarkal yang
selama ini melekat pada diri tokoh wanita. Proses interaksi yang telah
dijalankan Yasmin menjadikan Yasmin sebagai subjek yang secara sadar bertindak
sesuai dengan keinginannya tanpa paksaan dengan didasarkan atas perasaan dan
nilai-nilai sosial. Yasmin dengan segala pergerakannya turut serta
memperjuangkan apa yang diyakininya benar, meski dia harus berhadapan dengan
pemerintahan Orde Baru. Apa yang dilakukan Yasmin adalah sebuah bukti bahwa
tokoh wanita bisa berperan dalam dunia politik.
3)
Bentuk Interaksi antara Cok dengan
Saman, Larung, dan Tokoh Lain
Bentuk
interaksi Cok dan Saman pada awalnya adalah bentuk interaksi antara guru dan
murid, sama seperti bentuk interaksi Yasmin, Laila, dan Shakuntala.
Pertemuannya dengan Saman pada tahun berikutnya terjadi karena Yasmin. Berikut
adalah skema yang menjelaskan proses interaksi Cok dan Saman.
Proses
interaksi Cok dan Saman terjadi pada saat melarikan Saman ke luar negeri. Cok
membantu Saman untuk kabur ke luar negeri dan satu-satunya alasan Cok membantu
pelarian Saman adalah karena sahabatnya, Yasmin. Hal itu dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini.
“..…………………………………………………………………..
..……………………………………………………………………
Dan Cok dipilih
Yasmin menjadi orang yang akan membawaku keluar dari Medan. Semula agak ragu
karena aku tak begitu kenal dengan anak ini. Tapi Yasmin nampaknya percaya
betul pada teman karibnya” (Saman, 1998 : 175).
Proses
interaksi selanjutnya adalah proses interaksi Cok dan Larung. Berikut adalah
skema yang menjelaskan proses interaksi Cok dan Larung.
Cok
dan Larung bertemu pada saat upacara Ngaben keluarga jauh Cok di Bali, salah
satu yang diupacarakan itu adalah Anak Agung Stya Adnyani neneknya Larung. Awal
proses interaksi Cok dengan Larung dikarenakan ketertarikan Cok pada kisah
hidup neneknya Larung yang dulu kabur bersama seorang lelaki Belanda dan tidak
pernah kembali lagi. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“..…………………………………………………………………
.……………………………………………………………………
Dalam upacara
itulah aku pertama bertemu Larung. Ia mengenakan daster dan kain yang agak
kepanjangan untuk tubuhnya yang mungil. Aku menyapa dia lebih dulu, sebeyulnya
untuk mendengar dongeng tentang hidup neneknya yang seru” (Larung, 2001 :
92-93).
Cok kemudian memperkenalkan Larung
pada Yasmin ketika Larung di rumahnya. Larung bersama kawan-kawannya dari Bali
berangkat ke Jakarta untuk mengikuti demonstrasi pembredelan media massa yang
dilakukan pemerintah. Karena demo gabungan yang akan dilaksanakan direncanakan
pagi, maka Larung menginap di rumah Cok.
Proses
interaksi Cok dengan tokoh lain selalu didasarkan pada keuntungan dan perasaan.
Berikut adalah skema yang menjelaskan bentuk interaksi Cok dengan tokoh lain.
Cok selalu bertindak atas kata
hatinya sendiri meskipun melanggar moral dan norma. Interaksi dengan laki-laki
didasarkan atas kebutuhan biologis dan bisnis, tidak heran jika hubungannya
dengan laki-laki selalu sebentar. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah
ini.
“...…………………………………………………………………
..……………………………………………………………………
Aku memang liar.
Tapi apa boleh buat. Kupikir begitulah aku ditakdirkan. Semua orang diciptakan
dengan karakter masing-masing sebagaimana garis tangan ditentukan saling
berbeda (Larung, 2001 : 80).
...……………………………………………………………………
.……………………………………………………………………..
sedikitnya ia
menambah pengalamanku. Dan kemudian terbukti bahwa hubungan kami berguna juga”
(Larung, 2001 : 88).
Dari peran yang telah dijalankan Cok
dalam proses interaksinya, tidak tampak konsep patriarkal yang menjadikan
wanita sebagai objek. Interaksi Cok dengan tokoh laki-laki tersjadi karena
keinginan dan keuntungan, sehingga Cok terbebas dari rasa keterpaksaan dan
dominasi laki-laki yang selama ini selalu melekat pada diri tokoh wanita.
4)
Bentuk Interaksi antara Shakuntala
dengan Sihar dan Saman
Proses interaksi antara Shakuntala
dengan Sihar dan Saman tidak terjadi secara langsung, proses interaksi itu
terjadi karena teman-temannya. Berikut adalah skema yang menjelaskan tentang
proses interaksi yang dijalankan Shakuntala dan Sihar.
Proses interaksinya dengan Sihar
terjadi karena Laila, dan proses interaksi Shakuntala dengan Saman terjadi
karena Yasmin. Mengenai hubungan Laila dan Sihar, Shakuntala secara tegas
menyatakan bahwa dia tidak menyukai Sihar karena Sihar dianggap mempermainkan
Laila. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“...…………………………………………………………………...
………………………………………………………………………
Aku tidak suka Sihar. Tapi temanku suka padanya……………………...
Itu bisa dibaca
bahwa Sihar mengingkari Laila” (Saman, 1998 : 133).
Sebagai seorang sahabat, Shakuntala
selalu ingin Laila bahagia. Namun hubungan Laila dan Sihar tidak berjalan
lancar hal itu dikarenakan Sihar sudah beristri. Kekecewaan yang dialami Laila
dirasakan oleh Shakuntala, dan rasa kekecewaan itu telah mendorong Laila dan
Shakuntala ke dalam sebuah hubungan sesama jenis yang didasarkan pada perasaan.
Shakuntala merasa iba pada Laila, dan Laila membutuhkan Shakuntala untuk
mengobati kekecewaannya pada Sihar.
Sedangkan
proses interaksi Shakuntala dengan Saman pada awalnya adalah proses interaksi
antara guru dan murid, sama seperti Yasmin, Cok, dan Laila. Proses interaksi
selanjutnya terjadi lebih karena Yasmin. Berikut adalah skema yang menjelaskan
proses interaksi Shakuntala dengan Saman.
Proses interaksi yang dijalankan
Shakuntala telah menepis konsep patriarkal yang melekat pada diri tokoh wanita.
Shakuntala dengan segala pilihan hidup dan pandangannya telah menepis
ketergantungan dan keterbatasan pengalaman pada diri wanita.
4.2.1.1 Bentuk
Interaksi Disosiatif
1)
Konflik antara Laila dengan Rosano
Skema
di bawah ini menjelaskan proses interaksi Laila dan Rosano.
Pada awalnya proses interaksi Laila
dan Rosano adalah proses interaksi asosiatif yang berbentuk kerja sama antara
perusahaan Laila dan Rosano. Dari
pertemuannya dengan Rosano di kapal, telah menimbulkan kesan pada diri
Laila bahwa Rosano adalah orang yang angkuh. Hal itu dibuktikan dengan kutipan
di bawah ini.
“……………………………………………………………………
…………………………………………………
“Ini bukan foto untuk kampanye perburuhan, kan?” Rosano menyapa dengan gayanya
yang khas; ramah, manis, angkuh” (Saman, 1998 : 12-13).
Peristiwa terbunuhnya Hasyim Ali
menjadikan proses asosiatif yang berbentuk kerja sama antara perusahaan Laila
dan Rosano berubah menjadi proses interaksi disosiatif yang berbentuk konflik
antara Laila dan Rosano. Hal itu dikarenakan Rosano tidak bertanggung jawab dan
menganggap kecelakaan yang telah menyebabkan nyawa Hasyim Ali hilang adalah
sebuah kecelakaan yang kecil yang terjadi karena kecerobohan para pekerja. Hal
itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………..
………………………………………………………………………
“Kami juga
menyesal. Tapi mereka juga ceroboh. Dan kecelakaannya tidak terlalu besar. Kita
tidak sampai evakuasi. Ini sudah untung. Inilah risiko pekerjaan.” Serta
beberapa potong pembenaran yang menunjukan bahwa ia menganggap ringan
kecelakaan itu” (Saman, 1998 : 17).
Kemarahan Laila semakin bertambah
ketika Rosano menasehatinya untuk tidak ikut campur dalam urusan itu. Sementara
rasa sukanya pada Sihar semakin menambah kebencian Laila pada Rosano. Hal itu
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………..
………………………………………………………………………
“Kalian kesini
cuma untuk mengerjakan Company Profile yang kami pesan. Tak perlu
menjadi wartawan. ……………” (Saman, 1998 : 17).
Kesukaannya pada
Sihar menambah rasa sebalnya, dan ia mengingat mulut Rosano yang congkak
sebagai moncong yang dipotret dengan lensa bulat sehingga orang bisa melihat
kerongkongan dan kata-kata busuk di dalamnya” (Saman, 1998 : 18).
Kebencian Laila pada Rosano dan
kesukaannya pada Sihar mendorong Laila untuk menghubungkan Sihar dengan Yasmin
dan Saman. Sebagai seorang pengacara sekaligus aktivis, apa yang dilakukan oleh
Rosano dalam pandangan Yasmin adalah sebuah tindakan pelanggaran yang harus di
sidangkan. Ketertindasan yang dialami oleh Hasyim Ali sebagai pekerja dan
menyebabkan nyawanya menghilang menjadi dasar bagi Yasmin untuk memperjuangkan
hak-hak Hasyim Ali dan menuntut Rosano.
2)
Konflik antara Yasmin dengan Orde
Baru
Di
bawah ini adalah skema yang menjelaskan konflik Yasmin dengan Orde Baru.
Yasmin adalah seorang pengacara
sekaligus aktivis yang tergabung dalam LBH untuk orang-orang miskin atau
tertindas. Kesewenang-wenangan pemerintahan Orde Baru dengan melakukan berbagai
penculikan terhadap para aktivis, pembredelan media massa, dan berbagai praktik
KKN dan monopoli di dalamnya menimbulkan antipati pada diri Yasmin. Sebagai
bentuk perlawanannya terhadap Orde Baru, Yasmin aktif dalam LBH dan membuat
gerakan bawah tanah bersama dengan Saman dan Larung. Yasmin juga terlibat dalam
beberapa pelarian aktivis yang dianggap buron seperti Saman, Wayan Togog,
Bilung, dan Koba. Yasmin berpegang teguh pada orientasi nilai-nilai sosial
(salah dan benar) sehingga, apa yang dilakukannya kerap bertentangan dengan
keinginan pemerintahan Orde Baru.
3)
Konflik antara Shakuntala dengan
Tokoh Bapak
Di
bawah ini adalah skema konflik antara Shakuntala dengan tokoh Ayah.
Konflik
Shakuntala dengan tokoh bapak dan kakak perempuannya terjadi karena penolakan
tokoh bapak dan kakak perempuannya atas kepribadian ganda yang dimiliki
Shakuntala. Dalam pandangan tokoh bapak dan kakak perempuannya, Shakuntala
adalah seorang perempuan yang seharusnya berpasangan dengan laki-laki dan
karena Shakuntala tidur dengan laki-laki dan juga perempuan, maka tokoh bapak
dan kakak perempuannya menyebut Shakuntala sundal. Sementara Shakuntala yang
ditakdirkan punya dua kepribadian, yaitu sebagai laki-laki dan sebagai
perempuan menganggap bahwa tokoh bapak dan kakak perempuan yang menyebutnya
sundal tidak menghormatinya. Hal itulah yang kemudian menjadi konflik, di
samping juga perlakuan berbeda yang diterima Shakuntala pada saat masih kecil.
Secara
umum proses interaksi asosiatif maupun disosiatif yang dijalankan tokoh wanita dengan tokoh laki-laki dalam
novel “Saman” dan “Larung” terlepas dari pandangan biologis, pengalaman, serta
budaya patriarkal. Tokoh perempuan yang selama ini hanya mampu berperan dalam
urusan rumah tangga, melahirkan, dan dianggap mempunyai pengalaman yang
terbatas tidak nampak dalam novel “Saman” dan “Larung”. Apa yang telah
dilakukan tokoh perempuan dalam interaksi yang dijalankannya adalah sesuatu
yang benar-benar ingin dilakukannya, bukan sesuatu yang dilakukan karena
keterpaksaan.
2.1.2
Bentuk Kekerasan yang Dialami Tokoh Wanita dalam Novel “Saman” dan “Larung”
Proses interaksi yang dilakukan tokoh
wanita dalam novel “Saman” dan “Larung” melahirkan berbagai bentuk kekerasan.
Berikut adalah tabel yang menjelaskan berbagai bentuk kekerasan yang dialami
tokoh wanita dalam novel “Saman” dan “Larung”.
Bentuk
Kekerasan
|
Korban
|
Pelaku
|
Motif
|
1) Kekerasan fisik
|
|
|
|
Membebat
payudara Laila dengan stagen, menggiling payudara Laila dengan botol.
|
Laila
|
Ibu Laila
|
Ketakutan ibunya
|
Menyeret Upi di jalanan
|
Upi
|
Anson
|
Keliaran Upi
|
Pembunuhan
|
Tokoh lain
|
-
|
Ketakutan
|
2) Kekerasan
Emosional
|
|
|
|
Mengacuhkan
Laila
|
Laila
|
Sihar
|
Ketakutan Sihar pada istrinya
|
Menghina
Shakuntala
|
Shakuntala
|
Bapak, Kakak perempuannya
|
Tidak bisa menerima kepribadian ganda
Shakutala
|
3)
Kekerasan Seksual
|
|
|
|
Bersiul ketika Laila lewat
|
Laila
|
Pekerja pengeboran
|
Nafsu
|
Tidak memperdulikan keinginan Yasmin
|
Yasmin
|
Lukas
|
Menganggap
keinginan Yasmin sebagai sebuah kelainan
|
Pemerkosaan
|
Upi
|
Orang –orang perkebunan
|
Teror dan nafsu
|
1)
Bentuk Kekerasan yang Dialami Laila
Di
bawah ini adalah skema yang menjelaskan kekerasan fisik, seksual, dan emosional
yang dialami Laila.
Setiap remaja pasti mengalami masa
pubertas. Masa pubertas pada laki-laki ditandai dengan dengan pembesaran jakun
dan volume suara, sedangkan pada wanita ditandai dengan pembesaran organ tubuh
seperti payudara. Masa pubertas yang dialami Laila tidak berjalan lancar, itu
dikarenakan kekhawatiran ibunya akan keselamatan Laila. Hal itu dibuktikan
dengan kutipan di bawah ini.
“…………………………………………………………………….
.……………………………………………………………………..
Tentang ibu yang
erat membebat dadaku dengan stagen agar kuncup payudaraku yang sedang tumbuh
tidak terlihat orang. Dan jika aku di rumah kerap sore ibu menggiling dadaku
dengan botol seperti adonan pada talenan agar payudaraku tidak tumbuh terlalu
dini. Aku mengeluh, sakit sekali, Ibu, sesak dan ngilu. Katanya, tahanlah.
Sebab dengan begini kamu tidak membuat teman dan gurumu, bahkan orang
dijalanan, tergoda. Sebab bagi mereka tubuh wanita begitu menawan. Itu
berbahaya” (Larung, 2001: 104-105).
Kutipan di atas menjelaskan
bagaimana kekerasan fisik yang dialami Laila. Ibunya membebat dada dan
menggiling payudara Laila semata-mata karena kekhawatiran yang berlebihan
terhadap Laila. Ibu Laila beranggapan bahwa lelaki adalah makhluk yang mudah
tergoda oleh tubuh wanita. Tindakan ibunya tersebut telah menyakiti fisik
Laila.
Kekerasan
fisik yang dialami Laila, berimbas pada psikisnya. Dalam diri Laila tumbuh
motivasi untuk memasuki dunia laki-laki, karena dia menganggap menjadi
laki-laki lebih enak daripada menjadi perempuan. Hal itu dibuktikan dengan
kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Ia teringat,
semasa sekolah dialah yang paling banyak berlatih fisik. Naik gunung, berkemah,
turun tebing, cross country, menyusur kebun teh, berenang-jenis olahraga
kelompok yang kebanyakan anggotanya laki-laki. Juga tidur bersisian dengan
kawan laki-laki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat
mengenal pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki
dunia anak laki-laki, yang dinamis, tidak domestik” (Larung, 2001 : 118).
Kutipan di atas menjelaskan, bahwa
kekuatan yang mendorongnya untuk berlatih fisik dan memasuki dunia laki-laki
adalah anggapannya bahwa dunia laki-laki lebih dinamis daripada perempuan.
Laila bangga memasuki dunia laki-laki, karena perempuan kerap dicitrakan
sebagai mahluk domestik yang hanya berhubungan dengan kegiatan rumah. Kekerasan
fisik yang dialami Laila juga mempengaruhi Laila untuk memasuki dunia
laki-laki, Laila sebagai perempuan ingin membuktikan bahwa dia juga tidak lemah
; sama kuat seperti laki-laki dan bisa menjaga diri.
Bentuk
kekerasan kedua yang dialami Laila adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual
tersebut dialami terjadi ketika Laila berada di lokasi pengeboran di Laut Cina
Selatan. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Tapi terdengar
orang-orang bersiul ketika mereka sudah lewat. Laila mulai merasa asing sebab
satu-satunya perempuan di tempat ajaib ini. Tempat ini ajaib sebab cuma ada
satu perempuan” (Saman, 1998 : 8).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa
siulan para pekerja membuat Laila risih, Laila merasa asing sebab dialah
satu-satunya wanita yang berada di tempat itu. Siulan para pekerja termasuk
kepada bentuk pelecehan seksual kategori ringan, karena menjadikan Laila tidak
nyaman.
Bentuk
kekerasan ketiga yang dialami Laila adalah kekerasan emosional. Kekerasan
emosional ini terjadi karena sikap Sihar yang mengacuhkan Laila. Keacuhan Sihar
dikarenakan istrinya. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“…………………………………………………………………….
.……………………………………………………………………..
Tetapi kamu
datang bersama seorang perempuan! ………………..
Sihar tak
bisakah kamu tak mengajak istrimu barang dua jam?………….
Begitu dinginkah
kamu?……… Mungkin saya terpukul atas kedatangan istri Sihar……… Lalu, saat pipi
saya di bahunya, dekat telinganya, dekat lehernya, sekonyong saya ingin
menangis,………” (Larung, 2001 : 123).
Kutipan di atas menjelaskan
kesedihan yang dialami Laila karena keacuhan Sihar. Keacuhan Sihar tersebut
karena Sihar bersama istrinya. Ketertekanan yang dialami Laila adalah sebuah
bentuk kekerasan emosional yang menyebabkan penderitaan terhadap Laila.
Kekerasan emosional itu tidak akan terjadi jika Sihar datang tanpa membawa
istrinya.
2)
Bentuk Kekerasan yang Dialami
Yasmin
Di bawah ini adalah skema yang
menjelaskan kekerasan seksual yang dialami Yasmin.
Masa kecil Yasmin tidak dapat lepas
dari kelainan seksual yang bernama masokhisme. Masokhisme dalam kajian
psikologi abnormal adalah sebuah kelainan seksual yang mendapatkan kepuasan
apabila dia atau pasangannya mendapatkan keterhinaan. Fitur-fitur masokhisme
meliputi ; a) selama paling tidak enam bulan, fantasi, dorongan, dan perilaku
yang merangsang secara seksual melibatkan tindakan membiarkan dirinya dihina,
dipukuli, diikat, atau dibuat menderita yang muncul berulang kali secara intens
; b) dorongan, fantasi dan perilakunya itu mengakibatkan distress atau hendaya
yang signifikan (Durand dan Barlow, 2007 : 102).
Ketika
kuliah Yasmin melakukan hubungan seksual dengan Lukas, lalu menikah. Alasan
dibalik hubungan seksual yang dilakukan Yasmin adalah merindukan hukuman dari
orangtuanya untuk mewujudkan fantasi masokhisnya. Namun itu semua tidak
didapatkannya, begitupun dari Lukas. Lukas tidak pernah mau mewujudkan fantasi
masokhis yang diinginkan Yasmin. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah
ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Sejak menstrusi
pertama, aku merindukan penghukuman. Ketika aku bersetubuh dengan Lukas jauh
sebelum kami menikah, barangkali kukira dia bisa memenuhi fantasi tentang
lelaki yang dominan. Tapi barangkali aku melakukannya untuk melanggar hukum.
Sebab dengan demikian aku pantas dihukum seperti seharusnya anak gadis yang
bersundal di rumah bapanya dalam kitab Ulangan. Sebab melanggar dan dihukum
adalah dorongan erotisku.
Tapi tak ada
yang menghukum aku. Dan Lukas tak pernah mengolah kekejaman dalam dirinya,
meskipun sebatas imajinasi. ………………….
Barangkali ia
tak bisa percaya bahwa orang seperti aku mempunyai khayalan seperti itu. Yasmin
yang mandiri, yang selalu punya keputusan rasional, pengacara yang cukup dihormati,
aktivis hak asasi manusia (dan di dalamnya adalah hak asasi perempuan)”
(Larung, 2001 :160).
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa hubungan seksual yang dilakukan Yasmin dengan Lukas
dikarenakan dorongan dari fantasi masokhisnya. Ketika sudah menikah dengan
Lukas pun fantasi Yasmin tidak dapat diwujudkan oleh Lukas. Bagi Yasmin fantasi
masokhisnya termasuk kepada hak asasi perempuan untuk mendapatkan kepuasan
seksual.
Untuk
mewujudkan fantasi masokhisnya, Yasmin berselingkuh dengan Saman. Bagi Yasmin,
Saman adalah sosok yang erotis karena diburu dan merupakan seorang frater.
Akhirnya fantasi Yasmin terwujud ketika berselingkuh dengan Saman, hal itu
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Saman,
Bertahun-tahun
aku hidup dengan fantasi itu, tanpa pernah mewujudkannya. Hingga hari aku
bertemu kamu lagi. Kamu membangkitkan kembali khayal kanak-kanakku yang lama ku
khianati. Tanpa kamu ketahui terlepaskanlah keperempuananku yang telah
dipenjara dua puluh tahun. Kini ia datang dengan memori purbanya.” (Larung,
2001 : 161).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa
Saman yang telah berhasil membebaskan Yasmin dari objek pasif menjadi subjek
aktif. Melalui perselingkuhannya dengan Saman, Yasmin telah berhasil mewujudkan
fantasi-fantasi masokhis yang selama ini menjadi keinginan yang tidak
didapatkannya dari Lukas.
3)
Bentuk Kekerasan yang Dialami
Shakuntala
Di
bawah ini adalah skema yang menggambarkan kekerasan emosional yang dialami
Shakuntala
Shakuntala lahir dari pasangan orang
tua berdarah Jawa. Bapaknya adalah seorang dosen yang begitu kuat menganut
budaya Jawa, hingga dalam membesarkan anak-anaknya pun tidak terlepas dari
budaya yang dianutnya. Ayah Shakuntala menganggap seorang laki-laki berbeda
dengan perempuan ; laki-laki melindungi, perempuan dilindungi ; laki-laki kuat
perempuan lemah ; laki-laki di atas perempuan di bawah. Perlakuan orangtuanya yang
berbeda dan dominan terhadap laki-laki dalam membesarkan anak, mempengaruhi
psikis Shakuntala. sehingga dalam perkembangan psikisnya Shakuntala tidak hanya
tumbuh sebagai wanita tapi juga laki-laki. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di
bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Aku mempunyai
kakak lelaki. Dia anak pertama ayah ibuku. Orangtuaku percaya bahwa pria
cenderung rasional dan wanita emosiional. Karena itu pria akan memimpin dan
wanita mengasihi. Pria membangun dan wanita memelihara. Pria membikin anak dan
wanita melahirkan. Maka bapak mengajari abangku menggunakan akal untuk
mengontrol dunia, juga badan. Aku tak pernah dipaksanya untuk hal yang sama,
sebab ia percaya pada hakikatnya aku tak mampu” (Larung, 2001 : 136).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Namaku hanya
satu : Shakuntala
Tapi sering aku
merasa ada dua dalam diriku. Seorang perempuan, seorang lelaki, yang saling
berbagi sebuah nama yang tak mereka pilih.
Aku lupa sejak
kapan kutahu bahwa aku anak perempuan, sama seperti kita lupa kapan kita
pertama kali ingat. Aku curiga bahwa ayah dan ibuku mengatakannya kepadaku
terus-menerus–kamu perempuan-sejak aku belum bisa bicara” (Larung, 2001 :
133).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa
dalam mendidik anak, orang tua Shakuntala cenderung membeda-bedakan antara anak
laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki diperhatikan secara khusus dan
dididik untuk menjadi subjek, sementara perempuan dididik untuk menjadi objek.
Pada akhirnya perlakuan itu turut mempengaruhi psikis Shakuntala, dan tanpa
disadari berimbas pada kepribadian Shakuntala. Shakuntala tumbuh dan memiliki
kepribadian ganda ; sebagai laki-laki dan perempuan.
Mengetahui
Shakuntala mempunyai kepribadian ganda, orang tua dan kakak perempuannya tidak
bisa menerima. Bagi mereka kepribadian ganda yang dimiliki Shakuntala adalah
sebuah aib. Ketidakbisaan orang tua dan kakak perempuannya menerima keadaan
Shakuntala telah melahirkan tindakan kekerasan emosional berupa penghinaan. Hal
itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Namaku
Shakuntala. Ayah dan kakak-perempuanku menyebutku sundal.
Sebab aku telah
tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempaun. Meski tidak menarik
bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka”
(Saman, 1998 : 115).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Terutama juga
agar aku bisa pergi amat jauh dari ayah dan kakakku yang tidak kuhormati. Yang
tak menghormati aku, tak pernah menyukai aku. Aku tidak menyukai mereka.”
Saman, 1998 : 137).
Kutipan di atas menjelaskan
penghinaan yang dilakukan oleh ayah dan kakak perempuan Shakuntala. Penghinaan
itu adalah sebuah sikap yang ditunjukkan ayah dan kakak perempuan Shakuntala
atas kepribadian Shakuntala yang dianggap menyimpang. Shakuntala sendiri tidak
bisa menerima penghinaan itu, karena baginya apa yang dilakukannya adalah
sebuah pemberontakan atas nilai-nilai budaya yang selama ini dianut oleh
orangtuanya. Kekerasan emosional yang dialami Shakuntala membuatnya memilih
pergi untuk menjauhi keluarganya.
4)
Bentuk Kekerasan yang Dialami Upi
Di bawah ini adalah skema yang
menggambarkan kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang dialami Upi.
Upi adalah seorang gadis gila yang
berasal dari pemukiman transmigran Sei Kumbang. Mayoritas warga transmigran Sei
Kumbang hidup di bawah garis kemiskinan. Karena itu, keluarga Upi tidak sanggup
untuk memasukkan Upi ke rumah sakit jiwa. Agar Upi tidak berkeliaran, keluarga
Upi mengurungnya di sebuah kandang. Suatu hari Upi berkeliaran dan masuk ke
dalam sumur, berkat pertolongan Wisanggeni akhirnya Upi selamat dan
dikembalikan kepada keluarganya. Namun Upi menolak dimasukkan kembali ke dalam
kurungan, dan keengganan Upi dikurung melahirkan kekerasan fisik. Hal itu
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
..……………………………………………………………………
Dua pemuda tadi
menyeret perempuan itu melalui jalan setapak, tak peduli pada lolongan dan
rontaannya. ……………………………………
“Kami terpaksa,
Bang. Adik kami ini gila. Dia kesetanan.”
“Kalian tidak
bisa memasungnya begitu…” …….....” (Saman, 1998: 70).
Kutipan
di atas menjelaskan kekerasan fisik yang dialami Upi. Kekerasan fisik itu
berbentuk penyeretan, pengurungan di dalam kandang, dan pemasungan. Alasan
penggunaan kekerasan fisik itu adalah keliaran Upi dan ketidakmampuan keluarga
untuk memasukkan Upi ke rumah sakit jiwa.
Selain
kekerasan fisik, Upi juga kerap mengalami kekerasan seksual. Bentuk kekerasan
seksual itu berupa pemerkosaan. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Dua laki-laki
menjebol lantai pintu rumah Upi dan memperkosa gadis yang kini telah dua puluh
satu tahun. Mereka meninggalkan pagutan-pagutan merah di dadanya” ………… (Saman,
1998 : 87).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Anson yakin,
bahwa pemerkosaan itu adalah salah satu bentuk teror dari orang-orang yang
hendak merebut lahan itu” (Saman, 1998 : 88).
Kutipan
di atas menjelaskan tentang tindak pemerkosaan yang dialami Upi, tindakan
tersebut dilakukan karena nafsu dan sebagai upaya untuk melakukan teror
terhadap warga transmigran Sei Kumbang yang tidak mau mengganti tanaman
karetnya dengan kelapa sawit.
Selain
itu dalam novel “Saman” dan “Larung” terdapat berbagai bentuk kekerasan yang
menjadi ciri fenomena sosial waktu itu. Kekerasan itu diantaranya adalah
kekerasan seksual berbentuk pemerkosaan dan kekerasan fisik berbentuk
pembunuhan. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“…………………………………………………………………..………....………………………………………………………………
Lebih dari lima
mayat ditemukan setiap minggu di daerah Sumatera Selatan, barangkali. Dua atau
tiga mayat adalah perempuan. Diantaranya sering ada yang telah diperkosa
(Saman, 1998 : 36).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Kasus beracara
pertama pidanaku adalah pemerkosaan terhadap seorang tahanan wanita di kantor
polisi.” (Larung, 2001 : 161).
Kutipan
di atas menjelaskan tentang berbagai kekerasan seksual dan kekerasan fisik
dalam realitas sosial yang terbawa dalam novel.
Secara
umum, keempat tokoh utama wanita (Laila,
Yasmin, Shakuntala, dan Cok) mengalami berbagai bentuk kekerasan, namun karena
berbagai faktor seperti pendidikan yang tinggi, pengalaman yang luas, dan
kemandirian ekonomi, keempat tokoh utama tersebut dapat terlepas dari berbagai
bentuk tindakan kekerasan yang dialaminya. Bentuk kekerasan yang merupakan
bagian dari budaya patriarkal mencoba diungkapkan sekaligus ditentang oleh
keempat tokoh utama wanita dalam novel “Saman” dan “Larung”.
2.1.3
Citra Tokoh Wanita dalam Novel “Saman” dan “Larung”
Citra
tokoh wanita atau gambaran tokoh wanita dalam kritik sastra feminis merupakan
salah satu bagian penting yang harus diungkap. Sebagaimana diketahui bahwa
citra tokoh wanita tidak dapat terlepas dari realitas sosio-kultural
masyarakat. Dengan terungkapnya citra tokoh wanita ketidakadilan gender yang
dialami tokoh wanita akan terungkap dan hal itu menjadi dasar perjuangan untuk
menyejajarkan dan menyetarakan laki-laki dan perempuan.
Di
bawah ini adalah skema yang menjelaskan tentang pembentukan citra tokoh wanita
dalam novel “Saman” dan “Larung”.
Dalam
novel “Saman” dan “Larung” terdapat empat tokoh utama wanita yaitu Laila,
Yasmin, Cok, dan Shakuntala. Oleh karena itu analisis citra tokoh wanita akan
dilakukan terhadap keempat tokoh tersebut.
1) Citra
Tokoh Laila
Dalam
kesehariannya tokoh Laila digambarkan sebagai tokoh yang mempunyai pendirian,
taat beragama, mempunyai hubungan yang baik dengan laki-laki, dan mau melakukan
apapun untuk orang yang dicintainya.
Tokoh
Laila digambarkan sebagai seorang tokoh wanita yang mempunyai wajah sederhana
namun menarik, meskipun pada awalnya tokoh Laila digambarkan sebagai tokoh yang
tomboy. Kemenarikan fisik Laila dapat terbaca dari sikap pekerja pertambangan
yang bersiul dan menatap Laila dengan penuh semangat ketika Laila berada di
atas kapal tempat pengeboran. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………..
.……………………………………………………………………...
Laila Gagarina.
Fotografer. Wajahnya yang sederhana, terdiri dari dua mata, satu hidung, satu
mulut. Tubuhnya yang mulai kehilangan otot” (Larung, 2001 : 135).
.……………………………………………………………………..
.……………………………………………………………………..
Tapi terdengar
orang-orang bersiul ketika kami sudah lewat.
Orang-orang yang
kami hampiri menatap saya dengan mempertontonkan semangat” (Saman, 1998 : 8-9).
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa wajah Laila sederhana, tubuhnya mulai kelihatan
gemuk. Namun meskipun sederhana, Laila termasuk gadis yang menarik.
Psikis
Laila digambarkan sebagai seorang wanita yang selalu menuruti kata hatinya,
meskipun melanggar norma. Hal itu bisa terbaca dari keinginannya untuk tetap
berhubungan dengan Sihar meskipun Sihar sudah mempunyai istri.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Lalu cinta
menjadi sesuatu yang salah. Karena hubungan ini tidak tercakup dalam konsep yang
dinamakan perkawinan. Ia sering merasa berdosa pada istrinya. Semakin lama itu
seperti semakin menghantuinya, sehinga suatu hari saya begitu kesal sebab
beberapa kali ia membatalkan janji karena rasa bersalahnya, dan saya berkata
“Ternyata kamu laki-laki Batak yang takut istri.” Sihar apakah kamu tidak
memikirkan bahwa aku juga punya rasa bersalah pada orang tua? Tapi aku tidak
pernah membatalkan janji karenanya. Ia terkena dan menjawab dengan nada yang
agak menggoda, “kamu menantang? Apa kamu berani kalau aku teruskan hubungan
ini?” Saya terdiam beberapa saat. Barangkali saya memang menantang
kejantanannya, dan itu berarti membuktikan bahwa ia bisa ditaklukkan” (Saman,
1998 : 26-27).
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa Laila adalah tokoh wanita yang akan memperjuangkan
apapun yang diinginkannya meskipun melanggar norma. Dalam hal lain Laila
termasuk sosok wanita yang berani dan mendasarkan sesuatu pada nilai salah dan
benar. Hal itu dibuktikannya dengan menghubungkan Sihar dengan Yasmin dan Saman
untuk memenjarakan Rosano karena ia menganggap Rosano bersalah dan harus
bertanggungjawab atas kejadian kematian Hasyim Ali.
Dalam
hal pendidikan, Laila digambarkan sebagai tokoh wanita yang mempunyai
pendidikan tinggi. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Laila, kuliah di
jurusan komputer Gunadharma, tapi ia juga senang memotret” (Saman, 1998 : 153).
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa Laila termasuk tokoh wanita yang mempunyai pendidikan
tinggi.
Dalam
hal ekonomi tokoh Laila tergolong kepada tokoh wanita yang berekonomi menengah.
Status sosial Laila adalah wanita karier yang jauh dari citra domestik. Dalam
relasi dan perannya tokoh Laila digambarkan sebagai tokoh yang lebih banyak
berperan dalam sektor publik. Tokoh Laila dianggap mempunyai peranan yang
sangat penting dalam interaksinya dengan tokoh laki-laki sehingga anggapan
rendah terhadap tokoh Laila tidak nampak.
2) Citra
Tokoh Yasmin
Dalam
sikap kesehariannya tokoh Yasmin digambarkan sebagai tokoh yang baik, ingin
selalu tampil sempurna, punya pendirian yang kuat, menyayangi sesama manusia,
peduli pada masalah-masalah kemanusiaan, dan munafik karena tidak mau mengakui
perselingkuhannya.
Tokoh
Yasmin digambarkan memiliki fisik yang nyaris sempurna. Berwajah cantik,
bertubuh langsing, dan berkulit halus. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di
bawah ini.
“…………………………………………………………………….
...……………………………………………………………………
Yasmin Moningka
adalah perempuan yang mengesankan banyak lelaki karena kulitnya yang bersih dan
tubuhnya yang langsing” (Saman, 1998 : 23).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Lihatlah temanku
Yasmin Moningka. Wajahnya yang rupawan, bersih seperti patung marmer” (Larung,
2001 : 79).
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa Yasmin adalah sosok wanita yang memiliki kecantikan
lebih dibanding teman-temannya. Tidak heran, orang-orang menjadi tertarik
melihat fisik Yasmin.
Psikis
Yasmin digambarkan sebagai sosok wanita yang cerdas, berpengetahuan luas,
berani, dan selalu memihak pada kaum lemah, meskipun sifatnya munafik. Hal itu
dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“……………………………………………………………………
.…………………………………………………………………….
Lihatlah temanku
Yasmin Moningka. Wanita sempuran, cantik, cerdas, kaya, beragama, berpendidikan
moral pancasila, setia pada suami. Paling tidak itulah yang dia mau akui
tentang dirinya. Yang dia tidak mau akui : perselingkuhannya dengan Saman.
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Yasmin adalah
yang paling berprestasi dan paling kaya di antara teman terdekat saya. Kami
menjulukinya the girls who has everything. Ia kini menjadi pengacara di
kantor ayahnya sendiri, Joshua Moningka & Partners. Namun ia kerap
bergabung dalam tim lembaga bantuan hukum untuk orang-orang yang miskin atau
tertindas” (Saman, 1998 : 24).
Kutipan
di atas menjelaskan bahwa Yasmin adalah wanita yang cerdas, berprestasi, peduli
terhadap orang-orang yang tertindas, tapi juga munafik. Kemunafikan itu terjadi
karena ia ingin tetap menjaga citra dirinya.
Dalam
hal pendidikan, tokoh Yasmin adalah tokoh yang mempunyai pendidikan tinggi.
Yasmin adalah lulusan Fakultas Hukum UI. Dalam segi ekonomi, Yasmin adalah
tokoh yang berekonomi kelas atas. Status sosialnya sebagai istri dan wanita
karier (pengacara), namun dalam interaksi dan perannya tokoh Yasmin terbebas
dari peran domestik yang selalu dibebankan pada istri. Perannya lebih banyak
dalam sektor publik, dan dalam interaksinya dengan tokoh laki-laki Yasmin termasuk
salah satu tokoh wanita yang dianggap sangat penting. Tidak ada peremehan
terhadap eksistensinya dalam sektor publik, meskipun dia seorang wanita.
3)
Citra Tokoh Cokorda Gita Magaresa
Dalam sikap kesehariannya tokoh Cok
digambarkan sebagai tokoh yang periang, menganggap sesuatu serba gampang, suka
bergonta-ganti pasangan, dan jujur.
Tokoh Cok digambarkan memiliki wajah
yang cantik, memiliki tubuh yang menarik dan ia dikenal sebagai seorang wanita
yang pesolek. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“…….………………………………………………………….
.…
..……………………………………………………………………
Cokorda
Gita Magaresa. Jika bahasa Hindi itu diterjemahkan dengan bahasa lain,
kira-kira nama itu sepadan dengan Cokorda Ode Famiredo. Pengusaha hotel. Di
kalangan bisnis ia dikenal dengan Cok Gita. Gincu yang pudar, mascara yang agak
luntur, pipi yang lembab akan mengingatkan orang pada muka yang sedang
bersetubuh” (Larung, 2001 : 135).
………………………………………………………………………
...…………………………………………………………………….
Pagi-pagi Yasmin
telah kembali ke tempat persembunyianku bersama seorang nyonya melayu yang sama
pesoleknya. Ternyata anak itu bekas murid Tarakanita juga, Cok, teman satu
kelas Yasmin dan Laila waktu remaja” (Saman, 1998 : 175).
Kutipan di atas menjelaskan tentang
gambaran wajah Cok. Cok dikenal sebagai seorang wanita yang pesolek.
Psikis
Cok digambarkan sebagai seorang yang cerdas, tidak mau ambil pusing, periang,
jujur, dan suka bergonta-ganti pasangan. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di
bawah ini.
“…………………………………………………………………….
...……………………………………………………………………
Dia periang dan ringan hati. Berada bersamanya, orang merasa bahwa hidup ini
enteng dan tak ada yang terlalu perlu direnungkan dengan dalam atau serius. Tak
ada kemarahan yang perlu diawetkan seperti dendamku pada bapak. Juga tidak ada
cinta yang tahan lama seperti manisan dalam botol selai” (Saman, 1998 :
146).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Kupikir
begitulah aku ditakdirkan. Semua orang diciptakan dengan karakter masing-masing
sebagaimana garis tangan ditentukan saling berbeda. Dan jika aku dilahirkan
kuda dan aries sekaligus, apa dayaku? Yang penting aku jujur” (Larung, 2001 :
80).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa
Cok adalah wanita yang periang, dan ringan hati. Cok termasuk wanita yang suka bergonta-ganti
pacar, namun pada dasarnya Cok adalah wanita yang jujur.
Dalam
hal pendidikan, Cok termasuk tokoh wanita yang berpendidikan tinggi. Cok lulus
dari sekolah perhotelan di Sahid. Dalam segi ekonomi, Cok termasuk seorang
wanita berekonomi atas. Status sosialnya adalah sebagai seorang pengusaha
perhotelan. Proses interaksi dengan laki-laki lebih sering terjadi di sector
publik, dalam interaksinya dengan tokoh laki-laki tokoh Cok termasuk tokoh
penting. Cok sebagai seorang tokoh wanita selalu mendasarkan hubungannya pada
laki-laki atas dua hal yaitu keinginan dan keuntungan, sehingga tokoh Cok
terlepas dari citra inferior yang selalu dilekatkan pada wanita.
4)
Citra Tokoh Shakuntala
Dalam sikap kesehariannya tokoh
Shakuntala dikenal sebagai tokoh yang baik, mempunyai sikap tegas, berani, dan
selalu bertindak sesuai dengan keinginannya.
Tokoh Shakuntala digambarkan
memiliki wajah yang cantik, bertubuh langsing dan berotot, serta berdada rata.
Hal itu dibuktikan dengan kutipan di bawah ini.
“…………………………………………………………………….
...……………………………………………………………………
Aku nggak punya
kelenjar susu, aku cuma punya otot dada. Aku membalik badan, menampakkan
torsoku yang kencang oleh olah gerak. (Larung, 2001 : 152).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Rambut yang kini
tercukur membuat tulang-tulang tirus wajah Shakuntala menonjol. Juga lehernya
yang kurus dan bahunya yang kokoh” (Larung, 2001 : 118).
Kutipan di atas menjelaskan fisik
Shakuntala yang hampir seperti laki-laki. Shakuntala adalah seorang penari,
tidak heran kalau ia sering melatih tubuhnya dan berotot seperti laki-laki.
Namun, karena kelenjar payudaranya tidak tumbuh, maka payudaranya tidak tumbuh,
dan hal itu menjadi ciri bahwa Shakuntala adalah setengah laki-laki dan
setengah perempuan.
Psikis
Shakuntala digambarkan sebagai seorang tokoh yang cerdas, penuh keberanian,
mempunyai dua kepribadian, juga pendendam. Hal itu dibuktikan dengan kutipan di
bawah ini.
“……………………………………………………………………
….………………………………………………………………….
Tak ada kemarahan
yang perlu diawetkan seperti dendamku pada bapak (Saman, 1998 : 146).
………………………………………………………………………
.……………………………………………………………………...
Asian Cultural
Center memberiku beasiswa untuk mengeksplorasi tari” (Saman, 1998 : 138).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa
Shakuntala adalah sosok yang cerdas. Ia menerima beasiswa dan tinggal di
Amerika. Kepergiannya ke Amerika karena ia juga terlibat konflik dengan ayah
dan kakak perempuannya, ayah dan kakak perempuannya menyebut Shakuntala sundal
karena tidur dengan laki-laki juga dengan perempuan.
Dalam
hal pendidikan Shakuntala termasuk tokoh yang memiliki pendidikan tinggi.
Shakuntala lulus dari IKJ. Dalam segi ekonomi, Shakuntala termasuk tokoh
berekonomi menengah. Status sosialnya adalah seorang seniman yang bekerja untuk
Asian Cultural Center. Proses interaksi dengan tokoh laki-laki dan
perempuan lebih sering terjadi di sektor publik, Shakuntala termasuk salah satu
tokoh yang dianggap memiliki peranan penting dalam interaksinya baik dengan
tokoh laki-laki maupun perempuan. Dan apapun yang dilakukannya selalu
didasarkan pada kata hatinya.
Dari
citra ke empat tokoh wanita yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa citra fisik keempat tokoh wanita tersebut adalah cantik dan
menarik, citra psikisnya cerdas, citra sosialnya ; berpendidikan tinggi,
berekonomi menengah ke atas, wanita karier, dalam proses interaksi dengan tokoh
laki-laki lebih banyak di sektor publik daripada sektor domestik, dan memiliki
peran penting dalam interaksinya. Dalam masalah kekerasan, tiga dari empat
tokoh utama wanita mengalami kekekerasan. Namun kekerasan yang dialami tiga
tokoh tersebut, sebagian merupakan kekerasan berkategori ringan yang sukar
dihilangkan dalam masyarakat patriarkal.
Keempat
tokoh wanita yang ada dalam novel “Saman” dan “Larung” adalah tokoh wanita yang
dicitrakan sebagai berikut.
1)
Tokoh wanita yang dicitrakan mandiri.
2)
Tokoh wanita yang dicitrakan bebas
menentukan pilihan hidupnya.
3)
Tokoh wanita yang dicitrakan pelanggar
norma adat, budaya, dan agama (dalam masalah seksualitas).
4)
Tokoh wanita yang dicitrakan penting
dalam sektor publik dan dalam proses interaksi yang dijalankannya.
Citra domestik dan inferior yang
selama ini melekat dalam diri tokoh wanita, tidak nampak pada empat tokoh utama
wanita dalam novel “Saman” dan “Larung”, hal itu disebabkan oleh faktor-faktor
berikut ini.
1)
Pendidikan tokoh wanita yang tinggi.
2)
Kemandirian ekonomi tokoh wanita
3)
Keluasan pergaulan dan pengalaman tokoh
wanita
III.
Evaluasi
Interaksi sosial dan
bentuk kekerasan pada hakikatnya mempengaruhi penggambaran citra tokoh wanita.
Interaksi asosiatif cenderung sedikit melahirkan bentuk kekerasan, dan pada
akhirnya membuat citra tokoh perempuan menjadi lebih baik. Interaksi disosiatif
banyak melahirkan tindak kekerasan, sehingga melahirkan citra yang rendah
terhadap tokoh wanita. Selain itu, tingkat pendidikan, ekonomi, serta keluasan
pergaulan dan pengalaman turut mempengaruhi citra tokoh wanita.
“Saman” dan “Larung”
adalah karya feminis yang mencoba menyejajarkan wanita dan laki-laki. Melalui
“Saman” dan “Larung” Ayu Utami menulis dunia wanita, wanita ditempatkannya
diposisi puncak dan seksualitas yang dianggap tabu diangkat. Pengangkatan citra
perempuan tersebut tidak lain sebagai upaya perlawanan terhadap budaya
patriarki yang mengangap wanita lebih rendah dari laki-laki, menyingkap
kekerasan yang selama ini dialami wanita, dan berupaya mengarahkan wanita
menjadi subjek yang sadar akan identitas gendernya bukan sebagai objek pasif
yang berada di bawah kontrol laki-laki.
Pengangkatan
seksualitas yang tabu dalam kedua novelnya adalah representasi perlawanan
terhadap budaya patriarki yang menganggap wanita sebagai objek pasif sekaligus
untuk mengungkap kekerasan seksual yang dialami wanita. Alasan lain
pengangkatan seksualitas (politik tubuh) digunakan Ayu Utami untuk menarik
minat pembaca. Dalam esainya, Katrin Bandel (2006 :101-117) mengemukakan
bahwa sebagian teks dalam novel “Saman” dan “Larung” yang membicarakan
seksualitas cenderung falosentris dan heteronormatif dan hal itu
dikarenakan ambivalensi yang tidak disadari oleh Ayu Utami. Falosentrisme
dan heteronormatifititas dalam beberapa teks yang membicarakan seksual
tersebut mendorong wanita pada budaya patriarki. Namun walaupun demikian,
nuansa femnisme dalam kedua novel Ayu Utami terasa masih sangat kental.
Terlepas dari apa yang diungkapkan Katrin Bandel, hal itu menjadi sebuah
kewajaran karena tidak ada satu karya pun yang seratus persen sempurna.
Di sisi lain Ayu Utami
mengajak pembaca untuk menghormati pilihan hidup seseorang, termasuk kaum
homoseksual (humanisme universal). Homoseksual di Indonesia sering
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari keluarga, masyarakat, juga
negara meskipun dalam karyanya Ayu Utami cenderung menyetujui hubungan lawan
jenis (heteroseksual). Ayu Utami juga mengajak pembaca untuk melakukan kajian
ulang terhadap sejarah yang berhubungan dengan Gerwani, dekonstruksi terhadap tafsir-tafsir
kitab suci yang merugikan wanita, karena dalam budaya patriarki penafsiran
makna kitab suci yang salah dapat menjadi alasan pembenaran bagi laki-laki
untuk berbuat sewenang-wenang dan mengekalkan anggapan bahwa wanita lebih
rendah derajatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Badudu,
J.S. 1993. Sari Kesusasteraan Indonesia 2. Bandung : Pustaka Prima.
Bandel,
Katrin. 2006. Sastra, Perempuan, Seks. Yogyakarta : Jalasutra
Cavallaro,
Dani. 2001. Critical and Cultural Teory.Terj. Laily Rahmawati.
Yogyakarta : Niagara.
Darma,
Budi. 2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya : JP Books.
Depdiknas.
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Durand,
V. Mark, David H. Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal. Terj. Helly
Prayitno Soetjipto. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Eagleton,
Terry. 2006. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Terj. Harfiah
Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta : Jalasutra.
Escarpit,
Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Terj. Ida Sundari Husen. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Fauzi, Arif Irfan. 2007. “Eksklusifitas Sastrawan Pasca Angkatan
2000 Penempatan Perempuan Sebagai Objek Dalam Karya Sastra”. (Online). Tersedia
: (http://www.kompas.com /kompas cetak/0412/18/pustaka/1444335.htm). (30
Agustus 2008)
Kusmawi,
D. Ipung. 2005. “Nilai Budaya Dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari”
(Skripsi). Kuningan : FKIP Universitas Kuningan.
Murdiyatmoko,
Janu. 2007. Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat. Bandung :
Grafindo Media Pratama.
Naim,
Mochtar. 2006. Tiga Menguak Tabir : Perempuan Minangkabau di Persimpangan
Jalan. Jakarta : CV. Hasanah.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Sugiantomas,
Aan. 1998. Kajian Prosa Fiksi. Kuningan : FKIP Universitas Kuningan
Sugiantomas,
Aan. 2002. Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra Indonesia. Kuningan :
Dapur Sastra.
Sugihastuti.
2000. Wanita di Mata Wanita. Bandung : Yayasan Nuansa Cendikia
Sugihastuti,
Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Suhendi,
Didi. 2006. Srintil dalam Belenggu Gender. Yogyakarta : Alief Press.
Utami,
Ayu. 1998. Saman. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Utami,
Ayu. 2001. Larung. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Wellek,
Rene, Austin Warren. 1993. Teori Kesusasteraan Penerjemah. Terj. Melani
Budianta. Jakarta : Gramedia.
Wieringa,
Saskia. E. 2007. “Feminisme Transnasional, Pelajaran Gelombang Pertama”. Dalam Jurnal
Perempuan Kami Punya Sejarah. (April, Edisi 52). Jakarta.
Yayasan Jurnal Perempuan. 2007. “Kata
dan Makna”. dalam Jurnal Perempuan Kami Punya Sejarah. (April, edisi
52). Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar